Tuesday, 31 May 2011

Tukar Guling Meja ... (baca: Belajar Memahami Orang Jepang)

Semestinya postingan ini sy posting beberapa bulan lalu, namun karena ndak kelar-kelar juga jadi tertunda dan hari ini nampaknya berasa kadaluarsa. Tapi tak apalah .. hehehe

Awal April lalu, suasana baru menghiasi waktu-waktu yang saya habiskan di lab. Yup setelah acara ruislag aka tukar guling meja, demi alasan meningkatkan efisiensi komunikasi antar anggota dalam satu research project, saya mendapat kesempatan menemukan suasana baru. Dari tempat baru ini saya bisa leluasa melepas suntuk dengan sejenak memandang ruang bebas disana, dari balik jendela yang persis ada di samping saya. Terlebih hari-hari ini, di saat kuncup-kuncup bunga sakura mulai bermekaran. Meski hanya ada sebatang pohon di taman yang berada persis di tengah-tengah gedung ini, namun kehadirannya berasa demikian indah. Benar-benar berasa sedang berada di negeri Sakura ... =P. Bisa dikatakan sedikit 'kemajuan' dan semoga suasana baru ini menghadirkan semangat baru agar semakin produktif dan bisa segera mengejar progress sehingga bisa mencapai target 'setoran', terlebih dengan 'tantangan' baru dari group lain yang selama ini sy rasakan sedikit menutup diri dari keterlibatan saya di group mereka ... ganbatte ne!


Selain suasana baru ini, ada hal lain yang saya dapat dari acara tukar guling ini. Setidaknya ada 2 hal yang menjadi catatan saya :

Belajar mengenal orang jepang 

Orang Jepang telah lama dikenal sebagai bangsa yang tangguh, terbukti dari kemampuannya untuk bangkit setelah kekalahan telak dari sekutu pada perang dunia kedua, yang ditandai dengan porak-poranda-nya Hiroshima dan Nagasaki. Kini Jepang telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi yang amat diperhitungkan di dunia. Terakhir Jepang kembali menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi treble bencana yang melanda negeri sakura tersebut, gempa dahsyat dengan skala 9.0 SR, Tsunami besar setinggi 16 meter, dan krisis nuklir yang sampai kini masih berlangsung dan semua pihak terus berjibaku untuk menyelesaikannya. Bencana ini jelas akan mengganggu kondisi Jepang namun mereka telah menunjukkan seberapa tangguh mereka, nyaris tidak ada chaos selama kejadian bencana, dalam kondisi kritis pun mereka masih menjaga nilai-nilai yang merka junjung tinggi ... disiplin, kepercayaan dan ketaatan pada pemimpin, tenang dan bertindak dengan terencana, dan tahu bagaimana menempatkan skala prioritas.

Topik mengenai ketangguhan orang jepang ini juga sempat muncul dalam acara talkshow hari minggu lalu, dimana saya bertindak sebagai host-nya, dan singkatnya dalam diskusi itu muncul bahwa kondisi masyarakat Jepang yang demikian tangguh saat ini bukanlah sesuatu yang instant, dia tidak ujug-ujug alias serta merta muncul begitu saja, namun itu semua merupakan hasil dari proses panjang, sebuah proses belajar yang seringkali dipenuhi perjuangan keras, berbagai kesulitan bahkan pengorbanan. Orang mungkin mengenalnya sebagai semangat 'Bushido' yang merupakan semacam 'kode etik' yang dijunjung tinggi oleh para samurai di zamannya. Dan hari-hari ini, dari peristiwa kecil 'tukar-guling meja' ini saya dapat merasakan semangat itu.

Ketika keputusan 'tukar-guling' sudah diputuskan, dan hari eksekusi telah ditentukan, maka semua anggota lab segera membereskan tempat yang lama dan kemudian berpindah ke tempat yang baru. Mahasiswa-mahasiswa jepang melakukannya dengan amat tertib, tanpa banyak ba-bi-bu. Mereka paham bener makna kepemimpinan, ketika telah diputuskan oleh group leader maka mereka seolah mengatakan 'sami'na wa atho'na' - kami dengar dan kami taat. Meskipun tempat mereka yang baru jauh lebih buruk, dari sisi kondisi meja-kursi yang tampak usang, atau meja baru mereka yang kecil, mereka tidak banyak protes. Pemandangan kontras demikian nampak ditunjukkan oleh mahasiswa-mahasiswa asing, banyak sekali keluhan-keluhan yang komputer barunya lemot lah, mejanya kurang nyaman lah dll. Dari sini jelas nampak betapa orang jepang demikian 'qonaah' alias 'nerimo' dengan fasilitas yang diberikan ke mereka. Kondisi fasilitas yang mungkin tidak berbeda jauh dengan mahasiswa asing, yang kadang mungkin terasa kurang, tidak menjadi penghalang atau alasan bagi mereka untuk terus berkarya. Mereka terus membuat progress terkait riset mereka, yang itu seringkali jauh lebih baik dibandingkan performa mahasiswax2 asing. Memang dalam banyak hal kita mesti belajar dari mereka.

Belajar menemukan kembali arti qonaah dan introspeksi diri 

Ketika menyaksikan pertunjukan elok yang ditampilkan mahasiswa-mahasiswa Jepang, meski tidak berarti tersilaukan dengan kehidupan Jepang dan di banyak hal mereka juga perlu dikritisi, saya mencoba belajar dari mereka. Belajar menemukan dan memahami kembali makna qonaah, nerimo, tidak banyak berkeluh kesah, dan lebih banyak bersyukur. Jika kita demikian berniat mencari kekurangan, tentu banyak sekali yang akan kita temukan. Kita sering menjadikannya sebuah excuse atas ketidak-berdayaan kita, minimnya karya yang kita hasilkan. Kita mungkin sering menyalahkan, dan lupa bahwa sangat mungkin kelemahan itu semua bersumber dari kita sendiri. Jauh lebih bijak kiranya kita memandang dari sisi yang berbeda, kalo kita renungkan bagaimanapun kondisi kita, saya yakin itu jauh lebih baik dari banyak orang di luar sana yang kurang beruntung. Jadi nampaknya lebih baik memfokuskan diri, bagaimana dengan segala fasilitas dan daya yang kita miliki, kita mampu menghasilkan karya yang bermafaat. Bukankah dengan pena yang buruk sekalipun, kita mampu menulis sebuah puisi atau karya sastra yang indah! [ZA]

1 comment:

  1. Yes! Saya suka postingan ini. Ehehehe. Dahsyat ya Nihonjin itu. Bukan pemeluk agama Islam, tapi konsep2 kehidupannya sangat Islami. Apalagi yang terkait dengan sami'na wa atho'na itu. Gimana coba mereka bisa paham konsep qiyadah wal jundiyah macam itu? Just saying...

    ReplyDelete