Saturday 15 January 2011

Lesson from H to O (H2O) Study

Minggu ini ada sebuah 'open seminar' tentang konservasi SDA khususnya di kawasan pesisir dan laut. Dalam kesempatan ini ada dua pembicara tamu yaitu Profesor Masaru Tanaka (Jepang/Malaysia) dan Dr. Makruf Kasim (Indonesia). Topik yg diperbincangkan memang agak jauh dari bidang saya plus motivasi awalnya hanya sekedar menunjukkan apresiasi kepada rekan dari Indonesia, namun pada akhirnya saya merasa bersyukur bisa mengikutinya. Beberapa catatan penting bisa dipetik dari acara ini.
source : www.gm.com

Salah satu yang menarik adalah konsep 'Headwater to Ocean' (bisa disingkat 'H to O' atau agar lebih eyecatching bisa ditulis 'H2O') yang disampaikan oleh Tanaka-sensei. Beliau yang kini banyak melakukan riset di Malaysia ini adalah pakar biologi kelautan yang sepanjang kariernya memfokuskan diri pada bidang ini, namun setelah pensiun beliau memperluas minat beliau ke arah  integrasi berbagai bidang keilmuan. Beliau meyakini bahwa untuk menyelesaikan masalah, pendekatan satu disiplin ilmu saja tidak cukup, perlu pendekatan multidisiplin secara integral. Singkatnya dari berbagai studi yang beliau lakukan baik di Malaysia, Jepang, China dll. beliau menemukan bahwa ekosistem terestrial maupun maritim merupakan suatu yang saling terkait, saling terintegrasi. Sebagai contoh beliau menyebutkan bagaimana perairan di utara laut Jepang menjadi kawasan tangkapan ikan dengan luar biasa, tidak lepas dari peran kawasan hutan, sungai, daerah aliran sungai di China; contoh lainnya beliau menyebutkan bagaimana kehadiran sebuah bendungan pembatas di Malaysia, yang digunakan untuk memisahkan antara kawasan laut dan muara sungai demi perluasan lahan pertanian, mampu mengubah dan menurunkan kualitas lingkungan secara siginifikan. Inilah yang melatar belakangi gagasan 'H2O', bahwa konservasi perlu dilakukan secara menyeluruh dari kawasan hutan, DAS dll ('Headwater') hingga kawasan pesisir, laut ('Ocean'). Dalam konteks Indonesia pun banyak sekali kaitan 'H2O' ini yang bisa kita sebutkan, salah satunya mungkin bagaimana kawasan Bogor selalu menjadi 'kambing hitam' atas bencana banjir (meski mungkin ada juga yang lebih suka menyebutnya genangan) di Jakarta.

Salah satu pemaparan beliau selanjutnya yang menarik adalah tentang peran masyarakat dalam usaha konservasi ini. Bagaimana masyarakat mampu memahami semua elemen seperti hutan, daerah aliran sungai, pesisir, laut bahkan mungkin juga desa, kota, sebagai satu kesatuan tak terpisahkan serta terlibat aktif dalam upaya menjaga kelestariannya. Satu kata kunci yang demikian pas beliau sebutkan adalah 'lifestyle'. Tidak bisa dipungkiri bahwa secara alami kita menginginkan kehidupan yang terus semakin nyaman, mudah, menyenangkan. Bahkan sering kali keinginan-keinginan itu jauh melebihi kebutuhan kita. Betapa 'lifestyle' kita menyebabkan kebutuhan energi meningkat demikian pesat, sehingga banyak hutan harus digunduli untuk pertambangan, atau di-'make over' menjadi kebun sawit; betapa banyak hutan mangrove yang disulap menjadi tambak atau hutan disulap menjadi lahan pertanian atau pemukiman; betapa banyak karang laut yang mati akibat bom ikan atau dirusak para turis yang menyelam demi menikmati keindahannya. Memang benar dorongan kebutuhan akibat pertumbuhan populasi penduduk itu benar adanya, namun  tidak pula bisa dinafikkan bahwa 'lifestyle' kita memiliki andil besar di sana, bahkan mungkin melebihi pengaruh populasi tersebut. Memang memiliki hidup yg nyaman, mudah sah-sah saja, tapi tentu ada harga yang harus kita bayar untuk itu semua, sebagaimana orang jawa bilang 'ono rega ono rupa' (ada harga ada rupa/kualitas), semakin tinggi keinginan kita akan hidup yang serba instan, mudah, nyaman, semakin besar pula harga yang harus kita bayar. Menurunnya kualitas lingkungan hidup, perubahan iklim yang demikian ekstrim (bahkan sampai ada salju di musim panas di Australia) dan berbagai bencana yang melanda (banjir, tanah longsor, gagal panen, perubahan pola tanam karena perubahan iklim) dll. bisa jadi adalah sebagian dari 'harga' yang harus kita bayar.

Allah pun telah mengingatkan kita, bahwa berbagai fasad (kerusakan/bencana karena faktor manusia) merupakan sebuah peringatan akan akibat dari ulah tangan kita. Memang benar bumi ini diciptakan 'untuk kita', kita diijinkan utk memafaatkan karunia itu namun juga kita diwanti-wanti agar tidak berlebih-lebihan. So nampaknya kita perlu mulai belajar untuk memngevaluasi 'lifestyle' kita, kita perlu memikirkan apa yang benar benar menjadi kebutuhan kita, bukan sekedar keinginan. Saya sendiri pun bukan seorang ecologist yg begitu peduli lingkungan, atau aktivis 'green' generation, movement atau apalah itu namanya, namun saya yakin bahwa soal 'lifestyle' ini sesungguhnya bukan hal baru. Istilah pemakmur bumi (khalifatul fil ardh), merasa cukup (qanaah, zuhud), menghindari kesia-siaan (tabdzir), hidup yang seimbang  dan tidak berlebih-lebihan, itu semua sudah dikenal sejak belasan abad lalu bahkan mungkin jauh sebelum itu. So hidup seperti apa yang kita jalani sekarang dan kehidupan seperti apa yang akan kita dapatkan di masa mendatang ... semuanya kembali pada diri kita. Bukankah memang dalam hidup itu kita selalu dihadapkan pada pilihan, dan selalu ada konsekuensi atas apapun pilihan itu.[za]

2 comments:

  1. sepakat mas.. baca tulisan ini jadi teringat lagunya si Shaf fix yang berjudul Mother nature... ah jadi pengen dengerin lagi..
    tapi ada satu pertanyaan mas... jika masalah yang terjadi di negara kita misalnya adalah implikasi dari apa yang diperbuat oleh negara tetangga.. maka apa yang harus kita lakukan? hehehhe...

    mohon jawabannya sensei..

    ReplyDelete
  2. itu dihapus saja batas wilayahnya (yg sering kali memang ndak ada selain patokx2 di beberapa titik saja) sehingga ndak akan ada lagi 'negara kita' dan 'negara tetangga' heheheh ... ya yg pasti mah semua pihak mesti menyadari keterkaitan satu dg lain ... shg klo ada masalah macam itu bs dibicarakan n dicari solusinya bersama ... gt kali ya.

    ReplyDelete