Sunday, 23 January 2011

Integrated 'mikan' Orange Farming in Wakayama Prefecture, Japan

"Mikan" orange (japanesesnackreview.blogspot.com)
Sekitar pertengahan November 2010 lalu ada sebuah acara jalan-jalan yang diorganisir oleh International Student Division tepatnya acara field trip ke sentra produksi jeruk di daerah Wakayama. Meski harus diawali dengan sedikit ‘kekacauan’ karena saya nyaris datang terlambat karena semalaman begadang ngejar deadline menyelesaikan editing proceeding (meski akhirnya pagi itu belum selesai juga sehingga harus dilanjut di sepanjang perjalanan dalam bus dan disindir orang terkesan ‘sok sibuk’ atau ‘sok jadi wartawan’ … hehhe), hingga berkali-kali di telepon senpai.  Whatever lah yang pasti perjalanan ini cukup mengesankan … hehehe.

Oke here we go ….

Sekilas tentang budidaya ‘mikan’ di Wakayama

Wakayama Prefecture terletak di semenanjung Kii, di Regional Kansai, Pulau Honsu, Jepang. Daerah yang dihuni oleh kurang dari satu juta orang dengan kepadatan penduduk sekitar 200 orang/km2 ini terkenal sebagai sentra utama penghasil jeruk (orang Jepang sering menyebutnya 'mikan',meski ada juga jenis lainnya juga). Bahkan ini bisa dikatakan usaha merupakan aktivitas ekonomi utama di kawasan ini. Selain sebagai penghasil jeruk yang sering dijadikan obyek kunjungan ekowisata, sebenarnya ada juga berapa objek wisata lain yang menarik di daerah ini seperti wakayama castle (kalau lihat tempat ini jadi ingat game benteng takeshi ), pemandian air panas (onsen) di daerah Natchikatsuura, air terjun Natchi dan beberapa objek wisata lain. Namun dalam tulisan ini kita hanya akan berbincang tentang wakayama sebagai sentra produksi jeruk di Jepang.

Wakayama Castle (japan-web-magazine.com)
 Ketika berbicara tentang sentra produksi jerukdi Jepang, ada daerah lain yang mesti disebut yaitu daerah ehime, yang ada di Pulau Shikoku. Mungkin ada hal-hal yang berbeda, namun di dua kawasan ini, boleh dikatakan budidaya tanaman jeruk telah dilakukan dengan sistem yang sangat maju. Baik dalam aktivitas on-farm maupun out-farm. Infrastruktur yang tersedia pun sudah sangat memadai, mulai dari jalan yang tertata dengan baik sehingga memudahkan akses kendaraan; penggunaan mesin-mesin pertanian, sistem irigasi yang tertata rapi, hingga tersedianya jaringan semacam monorel yang sangat membantu petani untuk melakukan aktivitas ‘angkut-mengangkut’.

Hal lain yang menarik dari budidaya jeruk di wakayama ini adalah keberadaan packing house yang dilengkapi berbagai technologi mutakhir untuk evaluasi mutu dan juga proses grading. Hal ini juga merupakan ciri khas pertanian di Jepang yaitu mereka memproduksi dan menjual produk-produk dengan kualitas yang tinggi, dalam berbagai grade tertentu dengan konsistensi dan keseragaman yang tinggi dalam grade tersebut sehingga cukup ‘reasonable’ jika mereka membandrol produk-produk tersebut dengan harga yang tinggi. Oleh karena itu keberadaan mesin-mesin pertanian dan juga packing house menjadi sebuah kebutuhan utama bagi pertanian Jepang. Kondisi ini pula yang mendorong perkembangan teknologi pertanian di Jepang selain faktor lain seperti dukungan pemerintah dan perusahaan swasta yang juga amat besar.

Kembali ke budidaya jeruk di Wakayama. Secara umum hampir sama dengan budidaya jeruk pada umumnya selain system irigasi tetes yang diterapkan agar efisien serta jaringan monorel untuk sarana angkutan (misal untuk mengangkut buah yang telah dipanen). Singkat cerita , setelah jeruk dipanen, kemudian dikirim ke packing house. Di sana jeruk-jeruk ini dievaluasi mutunya untuk selanjutnya di kelompokkan sesuai grade tertentu. Evaluasi mutu ini meliputi kualitas eksternal (ukuran, bentuk, warna, cacat pada buah) maupun kualitas internal (kandungan gula dan tingkat keasaman). Sebagian besar proses dilakukan dengan peralatan canggih seperti machine vision system untuk penilaian kualitas eksternal dan near infra red (NIR) spectroscopy untuk penilaian kualitas internal, bahkan beberapa proses dilakukan dengan robot. Meskipun demikian masih ada juga beberapa proses yang dilakukan secara manual, seperti pengecekan akhir. Selama proses sortasi ini berlangsung, data kualitas mutu ini juga disimpan untuk keperluan riset dan pengembangan. Pemanfaatan mesin dan teknologi mutakhir di packing house ini memberikan pengaruh yang signifikan pada usaha ini, biaya untuk melakukan grading menurun hingga 70% jika dibandingkan secara manual, waktu yang diperlukan berkurang dengan sangat signifikan, kebutuhan tenaga kerja berkurang secara drastis, kualitas dan keseragaman produk terjaga dengan baik yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan konsumen, sistem penetapan harga dan pembayaran berdasarkan kualitas yang lebih baik kepada petani dan banyak dampak positif lain.

Selain sistem budidaya dan infrastruktur yang baik, kesuksesan Wakayama menjadi sentra produksi jeruk utama di Jepang juga didukung oleh keberadaan lembag riset pemerintah. Berbagai riset dilakukan untuk terus melakukan inovasi dan perbaikan-perbaikan dari system yang telah ada. Salah satu contohnya adalah penggunaan data GIS yang dipadukan dengan data kualitas buah dari packing house untuk memantau kondisi kebun serta mempelajari kondisi terbaik untuk mendapatkan produksi optimum. Hasil temuan ini kemudian disampaikan ke petani sebagai feedback sehingga petani bisa melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki system produksinya.

Peran pemerintah dan kalangan bisnis/professional dalam pengembangan usaha agribisnis

Berdasarkan informasi yang disampaikan salah satu peneliti yang menjadi pemandu selama kunjungan kami, pembangunan packing house ini diinisiasi oleh pemerintah. Pembangunan dilakukan oleh pemerintah, namun pemerintah hanya menanggung 50% anggaran, sisanya harus ditanggung oleh petani dan dikembalikan ke kas negara secara bertahap melalui koperasi yang mengelola fasilitas ini.  Pada prinsipnya pengelolaan packing house ini dilakukan oleh petani, namun dalam kesehariannya usaha ini dikelola dengan manajemen dan tenaga profesional. 

Sebelum jauh melangkah, nampaknya perlu disinggung sedikit mengenai kelembagaan petani yang ada di Wakayama ini. Umumnya usaha budidaya jeruk ini merupakan usaha keluarga dengan luasan kebun sekitar satu atau beberapa hektar. Selanjutnya keluarga-keluarga ini bergabung dalam koperasi dan menjalankan ‘bisnis’ ini bersama-sama. Memang ada juga petani yang tidak bergabung dan menjalankan usahanya secara mandiri namun jumlahnya kecil. Hingga saat ini sekitar 850 petani/keluarga tergabung dalam koperasi ini.

Keberadaan koperasi dan pengelolaan secara professional, menjadikan aspek bisnis dari budidaya jeruk ini berjalan dengan ‘benar’, sebagai mana mestinya. Budaya korporasi benar-benar diperkenalkan di sini, keberadaan koperasi membuat petani memiliki bargaining position sehingga lebih bisa berperan dalam mengontrol harga, lebih bisa ‘bersuara’ terkait berbagai kebijakan terkait pertanian. Tidak hanya itu isu-ise seperti efisiensi, produktivitas, pengembangan usaha bisa mendapat perhatian lebih. Petani tidak hanya menanam, merawat, memanen dan menjual, tetapi dengan bantuan manajemen professional mereka bisa melakukan hal lebih seperti melakukan analisis pasar sehingga tahu trend di masyarakat (e.g. anak muda lebih senang minum jus karena lebih praktis), mengembangkan produk baru (e.g. jus, buah dalam kaleng dll), melakukan ekspansi pasar, melakukan promosi untuk meningkatkan penjualan dll.

Kemungkinan penerapan integrated farming di Indonesia

Bila kita melihat demikian majunya sistem budidaya di wakayama ini, selain rasa kagum tentu terlintas dalam benak kita tentang perbandingan dengan kondisi di tanah air, atau mungkin kita akan bertanya mungkinkah kita mengadopsi sistem ini di tanah air. Sesungguhnya banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan di Indonesia. Banyak daerah di Indonesia yang sejak lama dikenal sebagai sentra produksi suatu produk tertentu, sebut saja Pontianak dengan jeruknya, Batu dengan apelnya atau Ciwidei dengan stawberinya.

Apel Malang (twincrescent.hostzi.com)
Jika kita tengok dari sisi teknologi, sesunggunya kita mampu. Banyak putra-putri Indonesia yang telah menguasai dan mengembangkan teknologi ini. Cobalah jika ada kesempatan Anda berkunjung ke balai penelitian milik Departemen Pertanian atau beberapa universitas di tanah air yang memiliki jurusan teknik pertanian, baik langsung atau mungkin cukup dengan menjelajah di dunia maya, dan tengoklah riset yang dilakukan di sana. Anda akan menemukan bahwa apa yang telah mereka kembangkan tidak jauh ketinggalan dari apa yang saya sebutkan di tulisan ini.  Mungkin kita akan bertanya, kalo memang teknologi itu telah kita kuasai dan kembangkan, ke mana saja itu semua, kok tidak ada aplikasinya sama sekali di lapangan atau mungkin tidak memberikan dampak apapun bagi kemajuan pertanian di tanah air.

Perlu kita sadari bahwa permasalahan ini tidak semata menyangkut aspek teknologi, banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan dan turut menentukan penerapan sistem ini. Untuk pengembangan ini perlu tentu modal besar sehingga kehadiran investor yang mau membiayai tentu diperlukan; iklim usaha dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung tentu sangat diperlukan, sebut saja kebijakan untuk investasi, penyediaan modal usaha/kredit atau inisiasi modal seperti yang terjadi di Wakayama, kebijakan ekspor-impor yang mendukung perkembangan pertanian dalam negeri; kerjasama yang erat antara lembaga riset atau perguruan tinggi dan yang pasti adalah peran serta petani untuk terlibat, terbuka dengan hal-hal baru dan kemauan untuk terus belajar.   Memang tidak mudah, namun saya kira itu bisa. Satu modal utama yang sangat penting adalah kemauan (willing). Bukankah orang bilang ‘where there is a will there is a way’, atau orang jawa bilang ‘ono karsa ono marga’ … yang kurang lebih berarti dimana ada kemauan insya Allah di sana ada jalan. Kalau hari ini kita bertanya kenapa pertanian kita tidak maju? … mungkin kita perlu juga bertanya … apakah ada kemauan pada diri kita memajukannya? … iya benar ‘kita’ merujuk pada semua pihak pemerintah, akademisi, peneliti, petani, konsumen, kalangan usaha. [ZA]

2 comments:

  1. Mas slamet, baca posting ini jadi inget tukang buah di pengkolan dekat taman tainan. kemarin pisan saya kepikiran kayaknya susah juga jadi tukang buah, karena sepertinya ga cuman mendagangkan tapi bagian sortir menyortir nya itu loh (di tulisan ini memakai istilah grading). hehehe, ternyata klo teknologinya udah punya mah sepertinya lebih sederhana...

    hmmm...
    jadi mas, apa yang hendak mas slamet lakukan untuk memajukan pertanian di indonesia? hehehe

    btw, saya suka tiga paragraf terakhir nyah :D..

    ReplyDelete
  2. Mas Slamet, biografina nampak membanggakan mas..

    Btw, kalo tab 'Publikasi' sudah diupdate, kasih tau saya mas.. saya juga ingin segera mengupdate tab 'Bibliografi' saya.. tapi heheheh, kayaknya.. hmmm... entah kapan juga.. :D

    ReplyDelete