Sunday, 22 May 2011

Mengenal "Japanese Green Tea"

Hari Kamis, 19 Mei 2011, untuk kedua kalinya International Office di kampus menyelenggarakan acara field trip bagi mahasiswa international. Jika semester lalu kita berkunjung ke Wakayama Prefecture, kali ini kami berkunjung ke daerah Uji. Acara kali ini bisa dikatakan cukup ramai, sekitar 45 orang berpartisipasi dalam acara ini. 

Objek pertama yang kami kunjungi adalah sebuah kuil yang cukup terkenal di Jepang, dan termasuk dalam salah satu world heritage versi UNESCO, Kuil Byodoin. Bagi orang yang pernah mengenal uang yen, maka dengan mudah mengenali kuil ini karena memang kuil ini dijadikan sebagai gambar uang koin 10 yen. Di lokasi ini selain bangunan utama berupa kuil, ada juga bangunan museum yang menyimpan berbagai benda-benda bersejarah terkait kuil ini. Keberadaan museum ini, menyiratkan betapa baiknya dokumentasi sejarah di Jepang. Sebenarnya kuil yang ada di Uji ini hanyalah replika dari bangunan kuil aslinya. Tapi dalam tulisan ini, saya tidak akan berpanjang lebar dengan Kuil Byodoin ini, silakan langsung ditanya Mbah Google saja yang dari  waktu ke waktu nampaknya makin pinter saja. Berikut beberapa gambar yang sempat diambil di tempat ini:

Museum di lokasi kuil Byodoin, Uji

Kuil Byodoin, sebagaimana tampak dalam koin 10 yen

Kuil Byodoin dari sudut yang berbeda

Setelah cukup puas menikmati wisata sejarah di Kuil Byodoin. Perjalanan dilanjutkan. Kali ini kami menuju Lembaga Riset Industri Teh Jepang. Tempat ini cukup dekat dari lokasi pertama, kami cukup menyusuri sungai Uji (Uji-gawa) dan tidak sampai 10 menit kami telah sampai di lokasi, dan langsung disambut dengan jamuan teh (yang di Jepang dikenal sebagai o-cha, mirip dengan di China yang menyebutnya cha) yang katanya sangat special. Namun klo boleh jujur dari beberapa teman Indonesia yang ikut dalam acara ini dapat ditarik kesimpulan rasa teh-nya sungguh hmmm sumimasen ... aneh. Selanjutnya, setelah makan siang, Kepala lembaga riset ini (catat langsung kepala-nya yang menjelaskan, bukan staff-nya) memberikan penjelasan mengenai lembaga riset ini, sejarah masuknya teh dari China ke Jepang, teknologi pengolahan teh di Jepang, hingga riset yang dilakukan di sana. Meski beliau tidak bisa berbahasa Inggris, namun beliau nampak bersemangat memberikan penjelasan, dan dengan bantuan penerjemah yang telah disiapkan dari kampus, penjelasan beliau sedikit banyak bisa diterima. 

Tehnik Budidaya dan Teknologi Pengolahan Teh 

Dari penjelasan yang disampaikan, kita bisa belajar tentang tehnik budidaya teh serta teknologi pasca panen yang dilakukan di Jepang. Secara umum hampir sama dengan di Indonesia atau mungkin juga di daerah lain misalnya bagaimana memproduksi teh hijau, teh oolong dan teh hitam. Hanya saja ada pelajaran menarik yang baru saya temukan dari penjelasan yang disampaikan, yaitu tentang bagaimana pembentukan 'rasa' pada teh serta pengaruh cahaya matahari pada pembentukan rasa ini. Singkatnya salah satu faktor yang menentukan rasa pada teh adalah kandungan asam amino dan teanin pada daun teh. Kandungan asam amino yang tinggi akan menimbulkan rasa 'umami' atau gurih pada teh, sementara kandungan teanin diusahakan rendah karena konon kurang baik kesehatan.

Pada awalnya asam amino dibentuk pada akar teh dan kemudian ditransport ke daun melalui batang. Di sinilah faktor cahaya matahari memegang peranan penting. Jumlah cahaya matahari yang melimpah akan meingkatkan laju pembentukan teanin, sementara cahaya yang kurang akan mengurangi fotosintesis dan juga pembentukan teanin dan disaat yang sama akan mengakibatkan meningkatnya kandungan asam amino pada daun. Hal inilah yang membuat adanya 2 tehnik budidaya teh yang berbeda, sesuai dengan peruntukannya atau jenis teh yang ingin dihasilkan. Ada beberapa jenis teh yang dihasilkan dari perkebunan teh di Jepang seperti tencha, sencha, hyoguro dll. Jadi prinsipnya untuk jenis teh yang dikehendaki memiliki kandungan asam amino tinggi dan teanin rendah maka teh dibudidayakan dalam lingkungan tertutup dengan jalan memberikan penutup (cover).

Terkait budidaya teh dengan menggunakan cover/pelindung, ada hal yang menarik di sini yaitu terkait jenis penutup yang digunakan. Setidaknya ada 2 jenis penutup yang biasa digunakan yaitu penutup tradisional yang terbuat dari anyaman ranting bambu (jadi semacam tirai) yang diatasnya kemudian ditutupi lagi dengan jerami, dan penutup buatan dari plastik berupa paranet. Dari sisi operasional, penggunaan paranet tentu lebih praktis daripada bahan tradisional. Jumlah cahaya yang masuk pun bisa diatur dengan presisi, dengan memilih ukuran net yang sesuai (biasanya dinyatakan dalam persentase cahaya yang diteruskan). Alasan utama petani teh tetap mempertahankan penggunaan bahan tradisional adalah untuk mendapatkan teh dengan kualitas prima. Penggunaan bahan tradisional ini tidak hanya berguna untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk (sekitar 98% cahaya diblok dan hanya 2% yang diteruskan), namun juga bisa mengontrol suhu dan kelembaban udara di kebun yang ada di bawah naungan tersebut. Di Indonesia sendiri pengaturan cahaya matahari yang sampai ke tanaman teh juga dilakukan meski dengan cara yang berbeda. Umumnya di antara tanaman teh, ditanam pula tanaman pelindung lain yang berfungsi mengurangi cahaya matahari.

Perkebunan Teh Uji, terkenal karena kekhasan citarasanya.

Pemberian air dan nutrisi lainnya melalui irigasi tetes.

Budidaya teh secara organik, tanpa penggunaan pestisida.

Budidaya teh di bawah naungan anyaman bambu & jerami.

Efek naungan, tanaman teh 'berpenampilan' kurus dan tinggi.
Hal lain yang saya temukan di perkebunan teh ini adalah cara panen yang sedikit berbeda dengan yang biasa dilakukan di Indonesia. Jika umumnya di Indonesia dilakukan secara manual, maka di sini pemanenan secara manual hanya dilakukan untuk teh yang ditanam di bawah naungan, selebihnya dilakukan dengan menggunakan mesin. Dari sisi efisiensi tentu penggunaan mesin jauh lebih tinggi, hanya saja kualitas petikan daun teh-nya tentu tidak sebaik jika dilakukan secara manual. Kekurangan dari sisi kualitas ini mungkin bisa diatasi dengan penataan dan perencanaan yang baik sejak penanaman. Tanaman teh diatur sedemikian rupa sehingga bisa tumbuh seragam, dan ketika dipotong secara periodik maka pucuk-pucuk daun teh akan memiliki tinggi yang relatif seragam sehingga meskipun dipanen secara mekanik, kualitas pucuk tehnya bisa tetap terjaga.

Setelah pemanenan, tahap selanjutnya adalah pengolahan menjadi produk jadi teh yang siap dikonsumsi/dipasarkan. Untuk proses ini relatif sama dengan yang dilakukan di Indonesia maupun di negara lain. Proses-proses tersebut meliputi proses pelayuan, fermentasi, penggilingan (agar daun teh semacam tergulung), pengeringan, atau dilanjutkan dengan penggilingan menjadi bubuk teh, tergantung jenis teh yang ingin dihasilkan. Dalam kesempatan ini kami hanya melihat proses pembuatan teh hijau, dan saya sendiri tidak tahu pasti berdasarkan katalog yang dibagikan nampaknya hanya teh hijau yang diproduksi di sini, atau mungkin juga memang hanya teh hijau yang dirpoduksi di Jepang. Entahlah (?).

Upacara Minum Teh 

Setelah menyelesaikan kunjungan di lembaga riset industri teh, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir yaitu kedai minum teh bernama "Uji Ocha Doujou". Lokasinya tidak jauh dari Kuil Byodoin dan untuk sampai ke sana, kembali kami menyusuri sungai Uji dan menyeberang beberapa jembatan di sana. Kali ini sebagian perjalanan ditempuh dengan jalan kaki. Pemandangan di sekitar sungai ini amat indah.

Ada sedikit catatan dalam perjalanan kali ini, saya berkesempatan berkenalan dengan seorang gadis yang sekilas nampak seperti orang dari asia barat atau timur tengah, tapi ternyata dia berasa dari China. Lebih jauh ketika saya katakan saya dari Indonesia, dia langsung menebak bahwa saya seorang muslim dan dia mengatakan bahwa dia juga seorang muslimah. Yups dia adalah seorang muslimah dari Uighur, daerah China barat sehingga memang penamilannya relatif lebih mirip dengan orang Afghanistan daripada China. Sebenarnya sebelum perkenalan itu, saya pun sudah tahu sedikit tentang dia dari seorang teman Indonesia yang lebih dahulu mengenalnya ... =P

Kembali ke acara minum teh. Acara ini merupakan salah satu tradisi yang terus dilestarikan di Jepang. Ada berbagai macam cara minum teh, namun kali ini kami hanya belajar cara minum teh yang sederhana, jadi tidak ada acara mengaduk teh atau muter-muter cawan. Kali ini kami mencoba minum teh yang konon adalah high grade tea, hyoguro. Satu set perlengkapan teh ini terdiri dari 1 wadah teh berisi 5 gram hyoguro, 1 buah teko kecil untuk menyeduh teh, 1 buah cawan agak besar untuk menampung air panas yang diambil dari thermos, 1 cangkir kecil untuk minum teh, dan 1 cawan lainnya untuk menampung sisa daun teh, dan 1 kotak chocolate green tea yang dipotong menjadi 4 buah segitiga. (sayang kemarin low-bat sehingga tidak sempat mengambil photo 1 set peralatan minum teh ini).

Pada tahap 1 kita mengambil air panas dari thermos (suhu sekitar 70C) dan menuangkannya dalam cawan penampung air sementara. Kita isi air hingga 1/3 cawan ini. Sementara kita tuangkan tehnya ke dalam teko maka air dalam cawan akan turun menjadi sekitar 60C. Selanjutnya air kita tuangkan ke dalam cangkir. Jika kita mengambil air dengan pas, maka air yang kita ambil tadi akan mengisi 80% dari isi cangkir. Setelah dituangkan ke cangkir maka suhu air akan turun kembali menjadi sekitar 50C. Air dari cangkir ini kemudian kita masukkan teko untuk menyeduh teh. Kita tunggu beberapa saat sampai semua air diserap oleh daun teh, baru kemudian kita nikmati seduhan teh ini. Bagiamana rasa teh ini? ... sangat berbeda dengan teh yang disajikan saat kunjungan di lembaga riset teh sebelumnya, rasa umami alias gurih-nya demikian terasa. Namun menurut saya ... rasanya tetap sama, aneh. Namun setidaknya terbukti bahwa benar hyoguro yang memang diolah dari daun teh yang dibudidayakan di bawah naungan, memiliki kandungan asam amino tinggi tercermin dari rasanya yang begitu gurih.

Pada tahap 2, sama persis seperti tahap pertama. Dengan menggunakan sisa seduhan teh di tahap 1 kita tambahkan lagi airnya hanya saja setelah air ditampung di cawan, kita tidak menuangkannya ke cangkir melainkan langsung ke teko sehingga seduhan ke-2 ini suhunya lebih tinggi. Lalu kita bisa mencoba hasil seduhan teh ini, konon dengan suhu yang berbeda maka akan dihasilkan rasa yang berbeda pula. Saya pun mencobanya dan entah kenapa menurut saya rasanya sama dan tetep aneh.

Tahap ke-3 kembali kita mengulang menambahkan air lagi, kali ini langsung dari thermos sehingga suhunya lebih tinggi lagi. Setelah mencobanya, rasanya tetap sama, aneh. Menurut penjelasan sang instruktur, setelah tahap ke-3 ini, merupakan saat yang tepat untuk mencoba chocolate green tea yang disediakan. Kalo yang ini rasanya enak, manis hehehe. Meskipun ini pengalaman pertama saya mencoba tatacara minum teh ala Jepang, dan berkesimpulan dengan rasa yang aneh. Namun saya jadi sedikit tahu bahwa yang sesungguhnya dinikmati dari acara minum teh ini bukan semata rasa tehnya, namun lebih dari itu adalah berbagai pakem atau tatacara yang terus dijaga, meski kadang terkesan rada aneh. Pelajaran lainnya adalah saya jadi tahu kenapa suhu teh menjadi demikian penting. Kembali berdasarkan penjelasan sang instruktur (saya sendiri belum tahu penjelasan ilmiahnya) pada suhu yang rendah maka asam amino lebih dominan diekstrak dari teh dari pada teanin, sehingga untuk mendapatkan rasa yang pas memang sebaiknya menggunakan air yang hangat. Semestinya sih teori ini bisa dibuktikan dengan pentahapan suhu seperti yang dijelaskan sebelumnya, namun entahlah saya ndak bisa membedakannya, atau karena saya terlalu terburu-buru sampai pada kesimpulan rasa aneh tadi ya ... entahlah. [ZA]



5 comments:

  1. Ahahaha...omoshiroii :D.

    Eto, Slam. Ada yang janggal. Beberapa saat yang lalu aku baca artikel di koran bahwa Hiroshi Yamada, MD., Ph.D meriset tentang katekin dan teanin. Keduanya merupakan antioksidan. Hasil penelitian tersebut mengarah pada efficacy teanin untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh (kaitannya dengan menghajar virus influenza). Nah, kalau merujuk pada penelitian Dr. Yamada, berarti seharusnya kadar teanin tinggi pada teh (hijau, terutama), sangat diharapkan dong. Tapi kok di tulisanmu malah sebaliknya? Hmmm...ni jyuede zhenmeyang ?

    *Btw, jepretanmu OK, Slam. Kamera baru ya? Xixixiyyy..

    ReplyDelete
  2. Nah soal fungsi teanin ini ndak tahu ya belum baca detailnya. Hanya saja nampaknya yang dikejar di sini adalah aspek citarasa. Tentu terkait hal ini ... kandungan asam amino menjadi amat penting karena menimbulkan rasa umami (meski sebenarnya menurutq aneh, teh kok gurih). Tapi setidaknya sih ada ilmu baru terkait budidaya teh ini. hanya saja untuk mengadopsinya tentu harus banyak yg dipertimbangkan, terutama karena budaya minum teh di masyarakat kita berbeda dg jepang plus citarasa yg sudah kadung melekat jadi agak susah. Bukankah semua pengembangan mestinya market/demand oriented ... so klo pangsa pasar produk teh hijau, dengan citarasa gurih atau sesuai pak yamada yg teaninnya tinggi ada di indonesia, bisa juga tuh diaplikasikan pengetahuan ini. Btw ini photonya pake ipone doang lho ... cm nampaknya memang cukup bakat se memilih angle yg OK ... wkwkwkwk
    #kabarnya sih confidence itu perlu, over jangan heheehe

    ReplyDelete
  3. ehm, nampak ada satu paragraf yang melenceng.. tentang seorang gadis.. wkwkwkwkwk..

    saya ga ngerti mas rasa teh yang gurih itu macam mana tho

    ReplyDelete
  4. Justru sebenarnya inti tulisan ini ya 1 paragraf itu ... qeqeeqeqe.

    ReplyDelete
  5. eduuun, oh gitu, jadi paragraf-paragraf lainnya hanya topeng rupanya :D

    aih aih,,,

    mas, paragraf itu nyempir dan ga nyambungnya bener2 kentara :D haduh haduh ^_^

    ReplyDelete