tag:blogger.com,1999:blog-76141292247351331592024-03-13T16:06:05.586+09:00Kumpulan Coretan Slamet Widodo ...Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-33583635123411215092013-03-31T15:56:00.003+09:002013-03-31T16:06:49.807+09:00The Power of Narcissism<div style="text-align: justify;">
Judul postingan ini terdengar aneh ? ... Mungkin.<br />
<br />
Maksudnya ... mungkin iya, mungkin juga tidak. Coba tanyakan saja pada pelakunya mungkin itu adalah diri kita sendiri, kawan kita, tetangga kita atau siapapun itu. Adakah sisi positif atau hal yang berguna dari narcissism? Paling tidak sebagai justifikasi awal judul postingan ini, ada-lah orang yang mengatakan 'ga narsis, ga eksis' ... hehehe. <br />
<br />
Kalo kita tengok lebih dekat, nampaknya sikap narsis ini sebagaimana banyak hal pada umumnya memiliki dua sisi, positif dan negatif. Tinggal bagaimana ia digunakan dan diarahkan. Bahkan boleh jadi ada potensi besar dibalik sikap yang seringkali mendapat penilaian miring dari publik ini. Lalu dimana potensi itu sebenarnya? <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Untuk mencoba menjawabnya mungkin lebih baik kalo kita coba tengok terlebih dahulu apa itu narcissism. Mungkin sekilas penjelasannya bisa ditengok di <a href="http://www.duniapsikologi.com/narsis-pengertian-definisi-dan-asal-mulanya/">SINI</a>. Namun dalam tulisan ini kita tidak sedang memperbincangkan narsis sebagai sebuah <i>psychological disorder,</i> namun lebih pada pola sikap yang lahir darinya. Masih dari link yang sama, paling ndak kita akan temukan sikap ini: "<i> ... kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian selain itu juga tumbuh perasaan paling mampu, paling unik ..."</i>. Jadi jelas sekali betapa membosankan dan menyebalkan ketika mesti berinteraksi dengan makhluk-makhluk model ini. Tampaknya tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. <br />
<br />
Namun hal lain yang perlu kita hadapi adalah fakta bahwa makin banyak orang yang malah mengadopsi model ini, khususnya di kalangan anak muda-anak muda <i>galau</i>, yang di tengah upaya pencarian jati dirinya tidak menemukan arahan yang tepat dari keluarganya, dari lingkungannya, atau dari tempatnya belajar. Pengaruh yang lebih dominan justru 'arahan yang tidak terarah' dari media massa bahkan figur-figur publik (termasuk mereka yang konon adalah pemimpin ... ups). Jadi tidak heran bahwa makin banyak individu-individu narsis di tengah-tengah masyarakat kita (atau malah kita termasuk salah satu diantaranya heheheh). <br />
<br />
Namun apa boleh buat, itulah faktanya. Persoalannya adalah bagaimana 'membelokkan' kecenderungan negatif sifat ini pada hal-hal yang positif. Mungkin kita tidak bisa megubah orangnya, namun kita bisa 'memanfaatkan' mereka untuk terlibat dalam aktivitas yang memberikan manfaat. Tanpa berpanjang-panjang lagi saya ingin menyebut sebuah program yang menurut saya sukses menggali "the power of narcissism" ini - Indonesia berkebun! ya Indonesia berkebun yang digagas oleh Ridwan Kamil, sosok muda kreatif yang namanya mendunia, yang terkenal dengan karya-karya arsitektur yang cukup fenomenal. Betapa tidak, tatkala tenaga kerja di sektor pertanian berkurang secara drastis karena banyak petani yang memasuki masa tua sementara di lain pihak generasi muda makin kurang berminat untuk berkecimpung dengan bidang ini; program kreatif ini mampu menarik minat banyak kalangan dari berbagai generasi, dari anak-anak hingga orang tua; bahkan kebanyakan dari mereka adalah para eksekutif dari kalangan menengah ke atas. Program ini mampu membangun sebuah brand yang demikian kuat dan memiliki 'nilai jual' tinggi. Program ini dipandang sebagai sebuah alternatif liburan keluarga yang murah meriah, sarat nilai pendidikan; sebagai "green activity" yang mampu memberi dampak positif bagi lingkungan. Jadi tidak heran jika keterlibatan pada kegiatan ini memberikan citra positif dan menarik bagi mereka yang terlibat. <br />
<br />
Saya rasa banyak di antara mereka yang terlibat dalam acara ini dengan penuh kesadaran akan nilai-nilai positif di dalamnya, namun saya pun sangat yakin tidak sedikit pula yang sekedar ikut-ikutan teman, sekedar berfoto-foto ria, atau sekedar nampang di sana. Di sini lah kuncinya, kita tidak perlu pusing memikirkan alasan dibalik partisipasi mereka, yang penting 'memanfaatkan' mereka untuk terlibat dalam hal yang positif, toh urusan niat atau alasan atau 'hasil' yang akan mereka dapat bukanlah urusan kita. Paling tidak dengan keterlibatan mereka banyak manfaat yang bisa dipetik - tanpa mereka sadari; ratusan kaos 'dress-code" mereka bisa memberikan sedikit tambahan rezeki bagi industri sablon, banyak lahan terbengkalai jadi hijau dan pada akhirnya lingkungan menjadi lebih sehat, anak-anak jadi punya kegiatan alternatif yang sarat pendidikan, menambah kebersamaan keluarga dll. Jadi disinilah peran penting social engineer membuat program-program kreatif yang positif dan bermanfaat, dengan tidak melupakan 'kemasan' dan 'branding' yang menarik sehingga tampil 'keren'. Bila kita sukses membuat demikian, sesungguhnya ada kekuatan potential yang bisa kita berdayakan itulah "the power of narcissism". <br />
<br />
Tidak hanya di level individu, budaya 'nampang' atau 'tampil keren' demi sebuah 'pencitraan' pun melanda dan menjadi sebuah keharusan bagi perusahaan. Demi sebuah citra, perusahaan tidak akan segan-segan merogoh koceknya cukup dalam. Sebut saja betapa mudahnya sebuah perusahaan mendanai program 1 juta buku pelajaran, ketika acaranya di launching di acara Kick Andy; atau betapa banyak dukungan perusahaan bagi program luar biasa lain semisal Indonesia Mengajar; Pemuda bangun Desa dll. Jadi peluang itu demikian besar, tinggal bagaimana kita mampu dengan kreatif memanfaatkannya dengan membuat programx2 yang 'keren'. Buatlah program itu mampu menjadikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya menjadi sosok-sosok yang hebat, sangat unik, memiliki citra yang positif, meskipun itu semua tentu bukan urusan dan tujuan utama kita; lebih dari itu adalah bagaimana program itu bisa memberikan manfaat dan kontribusi tanpa harus mereka sadari. Berikan apa yang mereka minta (citra, kesan keren dan unik) maka kita bisa memanfaatkan mereka untuk memberi manfaat yang lebih luas pada yang lain [ZA].</div>
<br />
<br />Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-34802827029711559402011-12-09T11:15:00.002+09:002011-12-09T11:29:59.128+09:00Bukan sebuah Kegagalan ...<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Ini bukan sedang mencoba melukis peta dunia, tidak juga sedang menggambar spiral lorong waktu atau semisalnya ... hanya sebuah simulasi dengan kesalahan men-setting beberapa parameter. Sebuah gambar yang semestinya indah dan teratur, meski mungkin terlihat 'sederhana' ... berubah menjadi demikian abstrak, nampak rumit dan mungkin 'artistik' ... namun sesungguhnya<i> useless</i>. Tak terbayang apa yang terjadi dengan alam semesta ini ketika ada satu bagian kecil saja yang salah setting. Pun demikian halnya tidak semua yang nampak 'artistik', 'nyeni' itu benar-benar berguna ...!!!</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-QtWV0TnyfQ4/TuFsYGpjh9I/AAAAAAAAAsM/evXnylx9jq0/s1600/circular+error.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="225" src="http://2.bp.blogspot.com/-QtWV0TnyfQ4/TuFsYGpjh9I/AAAAAAAAAsM/evXnylx9jq0/s400/circular+error.jpg" width="400" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><br />
</i></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i>Bagian dari proses belajar ... bukan sebuah kegagalan, hanya bagian dari jalan yang harus dilalui untuk sampai pada keberhasilan.</i> </div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-55997865138778615332011-11-16T08:37:00.001+09:002013-03-31T16:08:37.431+09:00Membaca kembali "Pesan Cinta" ...<div style="text-align: justify;">
Pagi ini sebuah kenangan lama atau lebih tepatnya kesadaran lama kembali hadir ketika memulai membaca ayat-ayat cinta yang dikirimkan Dia, Sang Maha Pengasih. Pengalaman sembilan tahun lalu kembali hadir, di pagi itu persis ayat yang sama menemaniku memulai salah satu hari bersejarah dalam hidupku. Ya di hari itu, akhirnya aku akan berangkat melanjutkan studi di salah satu kampus terbesar di negeriku, sebuah kampus yang tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku bahwa kelak akan menjadi salah satu almamaterku, IPB - Bogor. Sepenggal pesan singkat penuh makna di pagi itu lebih dari cukup untukku, bahkan jauh melebihi beberapa ratus ribu uang saku yang kubawa meski kala itupun tidak terbayang berapa lama bisa bertahan dengan uang itu, dan bagaimana selanjutnya ketika uang itu tinggal menyisakan rupiah terakhirnya. Pesan itu adalah:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<i>“Dan tidaklah ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang member rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” </i><b>(Hud [11:6])</b><o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<b></b><br />
<a name='more'></a><b>
</b></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Alhamdulillah ... segala puji hanyalah milik-Nya ... sampai detik ini dan insya Allah juga pada detik-detik selanjutnya keyakinan akan janji ini tidak akan pernah pudar. Oleh karena itu seringkali hati ini merasa gusar, marah, dan benci (semoga itu bukan semata karena iri) tatkala banyak orang berlomba-lomba menumpuk harta dengan segala cara tanpa peduli lagi halal-haram, tanpa peduli hak orang lain yang ia rampas. Terlebih ketika hal itu dilakukan oleh mereka yang konon paham tentang agama ini, <i>hamilud da'wah</i> demikian mereka menyebutnya. Ingin rasanya kukatakan, kemana akal dan nurani mereka, ketika mereka demikian getol mengurus hal-hal kecil yang penuh khilafiyah, namun lupa dengan hal-hal prinsip, lupa akan itu semua tatkala ada kepentingan dunia mereka di sana. Namun hari ini ketika merenungkan kelanjutan pesan cinta Sang Maha Pencipta ini, kutemukan jawabnya:</div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<i>“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”</i> <b>(HUd [11: 15-16]).</b><o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<b><br />
</b></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari hal yang demikian. Cukupkanlah diriku dengan yang halal. Jauhkanlah segala fitnah dan godaan yang mampu menjerumuskan. Serta hilangkanlah segala kebimbangan akan janjimu yang pasti, serta rasa benci yang mungkin hanya muncul karena iri bukan karena syariat-Mu yang diingkari. Ya Rabbi ... ampunilah hamba-Mu ini yang sering kali lupa, yang sering kali lebih banyak menilai orang daripada mengintrospeksi diri. Mampukanlah diri ini untuk lebih bisa memperbaiki diri. Amien. </div>
</div>
Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-64948544472619313332011-05-31T10:33:00.003+09:002011-05-31T10:47:54.771+09:00Tukar Guling Meja ... (baca: Belajar Memahami Orang Jepang)<div style="text-align: justify;">Semestinya postingan ini sy posting beberapa bulan lalu, namun karena ndak kelar-kelar juga jadi tertunda dan hari ini nampaknya berasa kadaluarsa. Tapi tak apalah .. hehehe</div><br />
<div style="text-align: justify;">Awal April lalu, suasana baru menghiasi waktu-waktu yang saya habiskan di lab. Yup setelah acara <i>ruislag</i> aka tukar guling meja, demi alasan meningkatkan efisiensi komunikasi antar anggota dalam satu research project, saya mendapat kesempatan menemukan suasana baru. Dari tempat baru ini saya bisa leluasa melepas suntuk dengan sejenak memandang ruang bebas disana, dari balik jendela yang persis ada di samping saya. Terlebih hari-hari ini, di saat kuncup-kuncup bunga sakura mulai bermekaran. Meski hanya ada sebatang pohon di taman yang berada persis di tengah-tengah gedung ini, namun kehadirannya berasa demikian indah. Benar-benar berasa sedang berada di negeri Sakura ... =P. Bisa dikatakan sedikit 'kemajuan' dan semoga suasana baru ini menghadirkan semangat baru agar semakin produktif dan bisa segera mengejar progress sehingga bisa mencapai target 'setoran', terlebih dengan 'tantangan' baru dari group lain yang selama ini sy rasakan sedikit menutup diri dari keterlibatan saya di group mereka ... ganbatte ne!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-8M7zPKydgHo/TZAuE1aRPVI/AAAAAAAAAkg/d_mu_iSa8Z4/s1600/photo+%25282%2529.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="239" src="http://1.bp.blogspot.com/-8M7zPKydgHo/TZAuE1aRPVI/AAAAAAAAAkg/d_mu_iSa8Z4/s320/photo+%25282%2529.JPG" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Selain suasana baru ini, ada hal lain yang saya dapat dari acara tukar guling ini. Setidaknya ada 2 hal yang menjadi catatan saya :<br />
<br />
<b>Belajar mengenal orang jepang </b><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Orang Jepang telah lama dikenal sebagai bangsa yang tangguh, terbukti dari kemampuannya untuk bangkit setelah kekalahan telak dari sekutu pada perang dunia kedua, yang ditandai dengan porak-poranda-nya Hiroshima dan Nagasaki. Kini Jepang telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi yang amat diperhitungkan di dunia. Terakhir Jepang kembali menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi treble bencana yang melanda negeri sakura tersebut, gempa dahsyat dengan skala 9.0 SR, Tsunami besar setinggi 16 meter, dan krisis nuklir yang sampai kini masih berlangsung dan semua pihak terus berjibaku untuk menyelesaikannya. Bencana ini jelas akan mengganggu kondisi Jepang namun mereka telah menunjukkan seberapa tangguh mereka, nyaris tidak ada chaos selama kejadian bencana, dalam kondisi kritis pun mereka masih menjaga nilai-nilai yang merka junjung tinggi ... disiplin, kepercayaan dan ketaatan pada pemimpin, tenang dan bertindak dengan terencana, dan tahu bagaimana menempatkan skala prioritas.</div><br />
<a name='more'></a>Topik mengenai ketangguhan orang jepang ini juga sempat muncul dalam acara talkshow hari minggu lalu, dimana saya bertindak sebagai host-nya, dan singkatnya dalam diskusi itu muncul bahwa kondisi masyarakat Jepang yang demikian tangguh saat ini bukanlah sesuatu yang instant, dia tidak <i>ujug-ujug </i>alias serta merta muncul begitu saja, namun itu semua merupakan hasil dari proses panjang, sebuah proses belajar yang seringkali dipenuhi perjuangan keras, berbagai kesulitan bahkan pengorbanan. Orang mungkin mengenalnya sebagai semangat 'Bushido' yang merupakan semacam 'kode etik' yang dijunjung tinggi oleh para samurai di zamannya. Dan hari-hari ini, dari peristiwa kecil 'tukar-guling meja' ini saya dapat merasakan semangat itu.<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Ketika keputusan 'tukar-guling' sudah diputuskan, dan hari eksekusi telah ditentukan, maka semua anggota lab segera membereskan tempat yang lama dan kemudian berpindah ke tempat yang baru. Mahasiswa-mahasiswa jepang melakukannya dengan amat tertib, tanpa banyak ba-bi-bu. Mereka paham bener makna kepemimpinan, ketika telah diputuskan oleh group leader maka mereka seolah mengatakan '<i>sami'na wa atho'na' </i>- kami dengar dan kami taat. Meskipun tempat mereka yang baru jauh lebih buruk, dari sisi kondisi meja-kursi yang tampak usang, atau meja baru mereka yang kecil, mereka tidak banyak protes. Pemandangan kontras demikian nampak ditunjukkan oleh mahasiswa-mahasiswa asing, banyak sekali keluhan-keluhan yang komputer barunya lemot lah, mejanya kurang nyaman lah dll. Dari sini jelas nampak betapa orang jepang demikian '<i>qonaah' </i>alias '<i>nerimo' </i>dengan fasilitas yang diberikan ke mereka. Kondisi fasilitas yang mungkin tidak berbeda jauh dengan mahasiswa asing, yang kadang mungkin terasa kurang, tidak menjadi penghalang atau alasan bagi mereka untuk terus berkarya. Mereka terus membuat progress terkait riset mereka, yang itu seringkali jauh lebih baik dibandingkan performa mahasiswax2 asing. Memang dalam banyak hal kita mesti belajar dari mereka.</div><br />
<b>Belajar menemukan kembali arti qonaah dan introspeksi diri </b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Ketika menyaksikan pertunjukan elok yang ditampilkan mahasiswa-mahasiswa Jepang, meski tidak berarti tersilaukan dengan kehidupan Jepang dan di banyak hal mereka juga perlu dikritisi, saya mencoba belajar dari mereka. Belajar menemukan dan memahami kembali makna qonaah, nerimo, tidak banyak berkeluh kesah, dan lebih banyak bersyukur. Jika kita demikian berniat mencari kekurangan, tentu banyak sekali yang akan kita temukan. Kita sering menjadikannya sebuah excuse atas ketidak-berdayaan kita, minimnya karya yang kita hasilkan. Kita mungkin sering menyalahkan, dan lupa bahwa sangat mungkin kelemahan itu semua bersumber dari kita sendiri. Jauh lebih bijak kiranya kita memandang dari sisi yang berbeda, kalo kita renungkan bagaimanapun kondisi kita, saya yakin itu jauh lebih baik dari banyak orang di luar sana yang kurang beruntung. Jadi nampaknya lebih baik memfokuskan diri, bagaimana dengan segala fasilitas dan daya yang kita miliki, kita mampu menghasilkan karya yang bermafaat. Bukankah dengan pena yang buruk sekalipun, kita mampu menulis sebuah puisi atau karya sastra yang indah! [ZA]</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-50689392831027882002011-05-31T07:22:00.005+09:002013-03-31T15:05:00.135+09:00Tidak selalu "bermain" itu menyenangkan<i>"Main-Main" ...</i><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sepenggal kata majemuk ini masih demikian membekas. Beberapa bulan lalu kata ini menghadirkan sebuah masalah besar yang tak pernah saya duga. Sebuah masalah yang mungkin belum selesai hingga hari ini. Kata ini telah memancing ego seorang Professor yang sangat saya hormati, hingga berbuah 'murka' yang demikian nyata terasa. Semuanya terjadi tanpa sebuah kesengajaan tentunya. Namun semuanya telah terjadi dan nampaknya sulit untuk menghapus peristiwa itu dari ingatan kami. Berusaha memperbaiki, ya mungkin itu saja yang terpikir saat ini dan hanya itu yang bisa saya lakukan, membuktikan bahwa saya pun tidak 'main-main'.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian halnya pagi ini ... saya pun kembali belajar. Bahwa tanpa kita sadari, kita sering terlibat dalam sebuah 'permainan'. Saya pun, semenjak kasus beberapa bulan lalu itu, sudah enggan untuk menggunakan istilah main-main atau melibatkan diri dalam 'permainan', dalam bentuk apapun itu (klo main bulu tangkis, sepedahan atau kluyuran ndak masuk pembahasan ya). Terlalu banyak hal tak terduga, terlalu banyak resiko di sana ... terlebih lagi ketika 'hati' terlibat di sana ... <i>sumimasen deshita. </i>[ZA]</div>
Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-86802086100052512732011-05-27T21:50:00.229+09:002011-06-26T13:30:31.608+09:00Lettologic, The Matrix dan Mencoba Memaknai Hidup<div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;">Tanpa sebuah kesengajaan kemarin nemu sebuah video yang cukup menarik. Sebuah video klip dari Letto berjudul "senyumanmu". Sekalian sambil nyoba fasilitas embedding video di blogger sekalian belajar nulis. Berikut ini video yang dimaksud:</div></div><br />
<div style="text-align: center;"><iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="349" src="http://www.youtube.com/embed/JsSh3XcXo2Y" width="425"></iframe></div><br />
<div style="text-align: left;"><div style="text-align: justify;">Kira-kira apa ya yang menarik dari video ini, sehingga saya memilihnya dari jutaan video yang ada di dunia maya. Mungkin karena ada Arumi Bachsin di sana? hehehheh ... mungkin. Lagunya enak didengar? ... mungkin juga. Namun tanpa mengabaikan beberapa alasan yang mungkin itu tadi, buat saya yang menarik adalah obrolan di bagian akhir video klip ini yang tersaji dalam kemasan bahasa Jawa khas Jogja yang akhirnya menguak alur cerita yang sesungguhnya ingin ditampilkan. Ada pesan yang seolah terselip dengan cara indah yang cukup unik di sana bahwa dunia ini ... Fana. Bahkan demikian ekstrim-nya, dalam klip ini diceritakan bahwa kawan-kawan dekat yang selama ini bersama si tokoh dalam cerita ini pun ternyata bukanlah sesuatu yang nyata. Memang nuansa filosofis semacam ini sering dihadirkan oleh grup band satu ini, dan hal ini sempat terungkap pula dalam perbincangan dengan Cak Nun yang tidak lain adalah orang tua vokalis grup ini, ketika berkunjung dan menjadi pembicara dalam acara Tabligh Akbar di Tainan 2009 silam. Jadi cukup beralasan ketika mereka menamakan salah satu album mereka "lettologic".<br />
<br />
<a name='more'></a>Sedikit banyak cerita dalam klip ini mungkin akan mengingatkan kita pada sebuah film layar lebar yang cukup fenomenal, bahkan konon berpengaruh pada beberapa orang hingga meyakini hal-hal yang ada dalamnya ... "The Matrix". Film sains-fiksi ini menggambarkan masa depan di mana 'realitas' seperti yang dirasakan oleh kebanyakan manusia sebenarnya adalah <i>'simulated reality'</i> yang diciptakan oleh <i>'sentient machine'</i> (mungkin mesin ini adalah<i> ultimate goal </i>dari konsep <i>'sentient computing'</i> yang kini dikembangkan dan mendapat perhatian cukup luas di kalangan peneliti). Keduanya berbagi ide yang sama, dunia ini hanyalah sebuah 'ilusi'. Nampaknya menarik untuk kita cermati.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-p63kyHvCUXo/TgWL3jXY_8I/AAAAAAAAAqA/5n4UI5C3d-c/s1600/the-matrix.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="300" src="http://2.bp.blogspot.com/-p63kyHvCUXo/TgWL3jXY_8I/AAAAAAAAAqA/5n4UI5C3d-c/s400/the-matrix.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Source: repugnant-conclusion.com</td></tr>
</tbody></table><br />
Tentang 'ilusi' alias 'tipu daya' dalam dunia ini, sesungguhnya bukanlah sebuah hal yang baru. Dalam islam pun dibahas mengenai hal ini. Dalam Al-Quran kita temukan:<br />
<blockquote><i>"Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (ghurur)" </i><b>(Q.S. Ali Imron : 185)</b></blockquote>Tentu konsep yang diajarkan Islam sangat berbeda dengan apa yg ada dalam film "The Matrix". Islam tidak membahas apakah 'realitas' yang kita alami dalam hidup kita ini adalah sebuah realitas hakiki atau sekedar simulasi, atau bahkan hasil sebuah program komputer atau apapun itu. Namun fokusnya lebih pada bagaimana kita memandang dan memaknai kehidupan di dunia ini dan bagaimana kita menyikapinya. Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini tidak ubahnya hanyalah sebuah perhentian sementara dari sebuah perjalanan panjang. Akan ada kehidupan lain setelahnya yang jauh lebih lama dan kekal, yang oleh karenanya dalam waktu yang singkat ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan bekal untuk perjalanan selanjutnya. Pun islam telah memberikan 'warning' yang cukup jelas, bahwa meskipun bersifat sementara namun di sana akan banyak ditemui hal yang menarik, yang sangat boleh jadi akan mampu melenakan sang musafir dari tujuan perjalanan sesungguhnya yang akan dia tempuh.<br />
<br />
Bila kita renungkan lebih lanjut, setidaknya itu yang terlintas dalam benak saya, mungkin benar bahwa realitas yang kita jalani hanyalah sebuah ilusi; berbagai peristiwa seolah berlalu begitu saja. Seolah baru beberapa waktu yang lalu, saya memutuskan untuk berangkat kota hujan, memperjuangkan nasib dan menimba ilmu di sana serta menjalani berbagai romantisme di masa itu; seolah berapa waktu yang lalu juga saya terjebak dalam hiruk-pikuk ibu kota ketika saya bekerja di Jakarta; seolah baru beberapa saat yang lalu juga saya menghirup udara kota Tainan, sesekali menghabiskan waktu di pantai Anping, atau motong ayam di pasar ABRI (baca: pagi); dan hari ini nyaris tanpa terasa sudah 8 bulan di 'kota tua' Kyoto dan menjalani rutinitas dengan segala dinamika di dalamnya. Semua realitas yg kita jalani seolah berlalu demikian cepatnya, sehingga ketika kita lalai sangat mungkin episode-episode perjalanan hidup kita akan mengalir begitu saja ... tanpa makna.<br />
<br />
Maka ketika kita renungkan, kita akan menemukan betapa luar biasa dunia ini hingga demikian banyak orang tertipu aka terperdaya. Atau malah jangan-jangan kita adalah salah satu dari mereka? ... Ups, semoga tidak. Betapa banyak orang yang pada akhirnya berlomba-lomba, dengan segala cara, tanpa terpikir apakah itu halal atau haram, tanpa kekhawatiran bahwa akan ada yang merasa tersakiti atau terampas haknya, tanpa ada rasa malu dan bersalah ... Apapun akan dilakukannya demi dunia yang dalam pandangannya demikian mempesona ... entah dalam wujud harta, tahta, nama ataupun wanita (<i>ups</i> ... tanpa tendensi gender di sini ya, berlaku sebaliknya juga kok).<br />
<br />
Di kalangan birokrat ... hanya demi tahta, harta, ataupun sekedar citra yang tercermin dalam angka-angka indah yang seolah membuatnya melakukan pencapaian luar biasa, berbagai kebijakan non-populer pun diambil, kekayaan negeri yang seharusnya mampu mensejahterakan rakyatnya pun tanpa enggan ia gadaikan, dan tanpa malu terus membeo. Di kalangan akademisi pun tak kalah mengerikan ... demi sekedar jabatan dan tunjangan, idealisme pun ia gadaikan dan lebih parah lagi demi harta dan kemewahan ... tanpa enggan berbagai kecurangan dan penipuan mereka lakukan. Pun tak ketinggalan masyarakat umum pun demikian luar biasa meskipun sedikit berbeda dari contoh sebelumnya. Ketika beberapa contoh di awal tadi berbagai alasan kenikmatan dan kesenangan menjadi godaan mereka, maka bagi masyarakat umum alasan kesulitan seolah menjadi pembenaran atas berbagai tindakan salah mereka. Kesulitan ekonomi sering menjadi tempat berlindung ketika mereka terjun ke lembah kenistaan atau melakukan berbagai pelanggaran. Karena susah, seolah apapun menjadi sah ... mengenaskan.<br />
<br />
So, apakah realitas kehidupan yang kita jalani hanyalah sebuah tipu daya atau ilusi semata? nampaknya itu bukan hal penting ... yang pasti itu semua adalah bagian dari ujian untuk kita, untuk mengukur seberapa baik kita dan posisi mana yang kelak layak untuk kita tempati sesuai dengan kualitas amal kita. Selamat menjalani ujian ... dan semoga kita bisa melaluinya dangan hasil terbaik. Ganbarimasou ... <b>[ZA]</b><br />
<br />
<br />
<br />
</div></div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-28080902632628917432011-05-22T11:26:00.003+09:002011-05-29T15:45:09.841+09:00Mengenal "Japanese Green Tea"<div style="text-align: justify;">Hari Kamis, 19 Mei 2011, untuk kedua kalinya International Office di kampus menyelenggarakan acara field trip bagi mahasiswa international. Jika semester lalu kita berkunjung ke Wakayama Prefecture, kali ini kami berkunjung ke daerah Uji. Acara kali ini bisa dikatakan cukup ramai, sekitar 45 orang berpartisipasi dalam acara ini. </div><div><br />
</div><div style="text-align: justify;">Objek pertama yang kami kunjungi adalah sebuah kuil yang cukup terkenal di Jepang, dan termasuk dalam salah satu world heritage versi UNESCO, Kuil Byodoin. Bagi orang yang pernah mengenal uang yen, maka dengan mudah mengenali kuil ini karena memang kuil ini dijadikan sebagai gambar uang koin 10 yen. Di lokasi ini selain bangunan utama berupa kuil, ada juga bangunan museum yang menyimpan berbagai benda-benda bersejarah terkait kuil ini. Keberadaan museum ini, menyiratkan betapa baiknya dokumentasi sejarah di Jepang. Sebenarnya kuil yang ada di Uji ini hanyalah replika dari bangunan kuil aslinya. Tapi dalam tulisan ini, saya tidak akan berpanjang lebar dengan Kuil Byodoin ini, silakan langsung ditanya Mbah Google saja yang dari waktu ke waktu nampaknya makin pinter saja. Berikut beberapa gambar yang sempat diambil di tempat ini:</div><div><br />
</div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-FkAKedNX3mE/Tdeg6cX3YLI/AAAAAAAAAmk/NrjOvRhE2o0/s1600/IMG_0479.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="http://3.bp.blogspot.com/-FkAKedNX3mE/Tdeg6cX3YLI/AAAAAAAAAmk/NrjOvRhE2o0/s320/IMG_0479.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Museum di lokasi kuil Byodoin, Uji</td></tr>
</tbody></table><div><br />
</div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-_pxjTAjsCw0/Tdeg8d7aFfI/AAAAAAAAAms/yv55HV3ep34/s1600/IMG_0505.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="http://2.bp.blogspot.com/-_pxjTAjsCw0/Tdeg8d7aFfI/AAAAAAAAAms/yv55HV3ep34/s320/IMG_0505.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kuil Byodoin, sebagaimana tampak dalam koin 10 yen</td></tr>
</tbody></table><div><br />
</div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-FdK_rrhtXrQ/Tdeg98zWbuI/AAAAAAAAAm0/_D4brM7Q6QU/s1600/IMG_0513.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="http://1.bp.blogspot.com/-FdK_rrhtXrQ/Tdeg98zWbuI/AAAAAAAAAm0/_D4brM7Q6QU/s320/IMG_0513.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kuil Byodoin dari sudut yang berbeda</td></tr>
</tbody></table><div><br />
<a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;">Setelah cukup puas menikmati wisata sejarah di Kuil Byodoin. Perjalanan dilanjutkan. Kali ini kami menuju Lembaga Riset Industri Teh Jepang. Tempat ini cukup dekat dari lokasi pertama, kami cukup menyusuri sungai Uji (Uji-gawa) dan tidak sampai 10 menit kami telah sampai di lokasi, dan langsung disambut dengan jamuan teh (yang di Jepang dikenal sebagai o-cha, mirip dengan di China yang menyebutnya cha) yang katanya sangat special. Namun klo boleh jujur dari beberapa teman Indonesia yang ikut dalam acara ini dapat ditarik kesimpulan rasa teh-nya sungguh hmmm sumimasen ... aneh. Selanjutnya, setelah makan siang, Kepala lembaga riset ini (catat langsung kepala-nya yang menjelaskan, bukan staff-nya) memberikan penjelasan mengenai lembaga riset ini, sejarah masuknya teh dari China ke Jepang, teknologi pengolahan teh di Jepang, hingga riset yang dilakukan di sana. Meski beliau tidak bisa berbahasa Inggris, namun beliau nampak bersemangat memberikan penjelasan, dan dengan bantuan penerjemah yang telah disiapkan dari kampus, penjelasan beliau sedikit banyak bisa diterima. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tehnik Budidaya dan Teknologi Pengolahan Teh </b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari penjelasan yang disampaikan, kita bisa belajar tentang tehnik budidaya teh serta teknologi pasca panen yang dilakukan di Jepang. Secara umum hampir sama dengan di Indonesia atau mungkin juga di daerah lain misalnya bagaimana memproduksi teh hijau, teh oolong dan teh hitam. Hanya saja ada pelajaran menarik yang baru saya temukan dari penjelasan yang disampaikan, yaitu tentang bagaimana pembentukan 'rasa' pada teh serta pengaruh cahaya matahari pada pembentukan rasa ini. Singkatnya salah satu faktor yang menentukan rasa pada teh adalah kandungan asam amino dan teanin pada daun teh. Kandungan asam amino yang tinggi akan menimbulkan rasa 'umami' atau gurih pada teh, sementara kandungan teanin diusahakan rendah karena konon kurang baik kesehatan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada awalnya asam amino dibentuk pada akar teh dan kemudian ditransport ke daun melalui batang. Di sinilah faktor cahaya matahari memegang peranan penting. Jumlah cahaya matahari yang melimpah akan meingkatkan laju pembentukan teanin, sementara cahaya yang kurang akan mengurangi fotosintesis dan juga pembentukan teanin dan disaat yang sama akan mengakibatkan meningkatnya kandungan asam amino pada daun. Hal inilah yang membuat adanya 2 tehnik budidaya teh yang berbeda, sesuai dengan peruntukannya atau jenis teh yang ingin dihasilkan. Ada beberapa jenis teh yang dihasilkan dari perkebunan teh di Jepang seperti <i>tencha, sencha, hyoguro </i>dll. Jadi prinsipnya untuk jenis teh yang dikehendaki memiliki kandungan asam amino tinggi dan teanin rendah maka teh dibudidayakan dalam lingkungan tertutup dengan jalan memberikan penutup (cover).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terkait budidaya teh dengan menggunakan cover/pelindung, ada hal yang menarik di sini yaitu terkait jenis penutup yang digunakan. Setidaknya ada 2 jenis penutup yang biasa digunakan yaitu penutup tradisional yang terbuat dari anyaman ranting bambu (jadi semacam tirai) yang diatasnya kemudian ditutupi lagi dengan jerami, dan penutup buatan dari plastik berupa paranet. Dari sisi operasional, penggunaan paranet tentu lebih praktis daripada bahan tradisional. Jumlah cahaya yang masuk pun bisa diatur dengan presisi, dengan memilih ukuran net yang sesuai (biasanya dinyatakan dalam persentase cahaya yang diteruskan). Alasan utama petani teh tetap mempertahankan penggunaan bahan tradisional adalah untuk mendapatkan teh dengan kualitas prima. Penggunaan bahan tradisional ini tidak hanya berguna untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk (sekitar 98% cahaya diblok dan hanya 2% yang diteruskan), namun juga bisa mengontrol suhu dan kelembaban udara di kebun yang ada di bawah naungan tersebut. Di Indonesia sendiri pengaturan cahaya matahari yang sampai ke tanaman teh juga dilakukan meski dengan cara yang berbeda. Umumnya di antara tanaman teh, ditanam pula tanaman pelindung lain yang berfungsi mengurangi cahaya matahari.<br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-faIcM7TNlWk/Tdeq3DYS4cI/AAAAAAAAAoM/Z1TV_GzSnik/s1600/IMG_0542.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="http://2.bp.blogspot.com/-faIcM7TNlWk/Tdeq3DYS4cI/AAAAAAAAAoM/Z1TV_GzSnik/s320/IMG_0542.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Perkebunan Teh Uji, terkenal karena kekhasan citarasanya.</td></tr>
</tbody></table><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-ZxAQxhWfwd0/TderDJcHAKI/AAAAAAAAAoQ/a8EsTOqZQj8/s1600/IMG_0543.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="http://1.bp.blogspot.com/-ZxAQxhWfwd0/TderDJcHAKI/AAAAAAAAAoQ/a8EsTOqZQj8/s320/IMG_0543.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pemberian air dan nutrisi lainnya melalui irigasi tetes.</td></tr>
</tbody></table><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-VrAlfr45ctQ/TderGW4nyrI/AAAAAAAAAoc/7wLqeejkUZU/s1600/IMG_0544.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="http://1.bp.blogspot.com/-VrAlfr45ctQ/TderGW4nyrI/AAAAAAAAAoc/7wLqeejkUZU/s320/IMG_0544.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Budidaya teh secara organik, tanpa penggunaan pestisida.</td></tr>
</tbody></table><br />
</div><div style="text-align: justify;"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-UwkbRIHHPXk/TderUFdN4JI/AAAAAAAAAok/QPnPJgqeGQQ/s1600/IMG_0546.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="http://4.bp.blogspot.com/-UwkbRIHHPXk/TderUFdN4JI/AAAAAAAAAok/QPnPJgqeGQQ/s320/IMG_0546.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Budidaya teh di bawah naungan anyaman bambu & jerami.</td></tr>
</tbody></table><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-WgmpEOIKh98/TderUxXQ8EI/AAAAAAAAAoo/M5bVax2-4Zk/s1600/IMG_0548.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="http://1.bp.blogspot.com/-WgmpEOIKh98/TderUxXQ8EI/AAAAAAAAAoo/M5bVax2-4Zk/s320/IMG_0548.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Efek naungan, tanaman teh 'berpenampilan' kurus dan tinggi.</td></tr>
</tbody></table>Hal lain yang saya temukan di perkebunan teh ini adalah cara panen yang sedikit berbeda dengan yang biasa dilakukan di Indonesia. Jika umumnya di Indonesia dilakukan secara manual, maka di sini pemanenan secara manual hanya dilakukan untuk teh yang ditanam di bawah naungan, selebihnya dilakukan dengan menggunakan mesin. Dari sisi efisiensi tentu penggunaan mesin jauh lebih tinggi, hanya saja kualitas petikan daun teh-nya tentu tidak sebaik jika dilakukan secara manual. Kekurangan dari sisi kualitas ini mungkin bisa diatasi dengan penataan dan perencanaan yang baik sejak penanaman. Tanaman teh diatur sedemikian rupa sehingga bisa tumbuh seragam, dan ketika dipotong secara periodik maka pucuk-pucuk daun teh akan memiliki tinggi yang relatif seragam sehingga meskipun dipanen secara mekanik, kualitas pucuk tehnya bisa tetap terjaga.<br />
<br />
Setelah pemanenan, tahap selanjutnya adalah pengolahan menjadi produk jadi teh yang siap dikonsumsi/dipasarkan. Untuk proses ini relatif sama dengan yang dilakukan di Indonesia maupun di negara lain. Proses-proses tersebut meliputi proses pelayuan, fermentasi, penggilingan (agar daun teh semacam tergulung), pengeringan, atau dilanjutkan dengan penggilingan menjadi bubuk teh, tergantung jenis teh yang ingin dihasilkan. Dalam kesempatan ini kami hanya melihat proses pembuatan teh hijau, dan saya sendiri tidak tahu pasti berdasarkan katalog yang dibagikan nampaknya hanya teh hijau yang diproduksi di sini, atau mungkin juga memang hanya teh hijau yang dirpoduksi di Jepang. Entahlah (?).<br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Upacara Minum Teh </b><br />
<br />
Setelah menyelesaikan kunjungan di lembaga riset industri teh, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir yaitu kedai minum teh bernama "Uji Ocha Doujou". Lokasinya tidak jauh dari Kuil Byodoin dan untuk sampai ke sana, kembali kami menyusuri sungai Uji dan menyeberang beberapa jembatan di sana. Kali ini sebagian perjalanan ditempuh dengan jalan kaki. Pemandangan di sekitar sungai ini amat indah.<br />
<br />
Ada sedikit catatan dalam perjalanan kali ini, saya berkesempatan berkenalan dengan seorang gadis yang sekilas nampak seperti orang dari asia barat atau timur tengah, tapi ternyata dia berasa dari China. Lebih jauh ketika saya katakan saya dari Indonesia, dia langsung menebak bahwa saya seorang muslim dan dia mengatakan bahwa dia juga seorang muslimah. Yups dia adalah seorang muslimah dari Uighur, daerah China barat sehingga memang penamilannya relatif lebih mirip dengan orang Afghanistan daripada China. Sebenarnya sebelum perkenalan itu, saya pun sudah tahu sedikit tentang dia dari seorang teman Indonesia yang lebih dahulu mengenalnya ... =P<br />
<br />
Kembali ke acara minum teh. Acara ini merupakan salah satu tradisi yang terus dilestarikan di Jepang. Ada berbagai macam cara minum teh, namun kali ini kami hanya belajar cara minum teh yang sederhana, jadi tidak ada acara mengaduk teh atau muter-muter cawan. Kali ini kami mencoba minum teh yang konon adalah high grade tea, <i>hyoguro</i>. Satu set perlengkapan teh ini terdiri dari 1 wadah teh berisi 5 gram hyoguro, 1 buah teko kecil untuk menyeduh teh, 1 buah cawan agak besar untuk menampung air panas yang diambil dari thermos, 1 cangkir kecil untuk minum teh, dan 1 cawan lainnya untuk menampung sisa daun teh, dan 1 kotak chocolate green tea yang dipotong menjadi 4 buah segitiga. (sayang kemarin low-bat sehingga tidak sempat mengambil photo 1 set peralatan minum teh ini).<br />
<br />
Pada tahap 1 kita mengambil air panas dari thermos (suhu sekitar 70C) dan menuangkannya dalam cawan penampung air sementara. Kita isi air hingga 1/3 cawan ini. Sementara kita tuangkan tehnya ke dalam teko maka air dalam cawan akan turun menjadi sekitar 60C. Selanjutnya air kita tuangkan ke dalam cangkir. Jika kita mengambil air dengan pas, maka air yang kita ambil tadi akan mengisi 80% dari isi cangkir. Setelah dituangkan ke cangkir maka suhu air akan turun kembali menjadi sekitar 50C. Air dari cangkir ini kemudian kita masukkan teko untuk menyeduh teh. Kita tunggu beberapa saat sampai semua air diserap oleh daun teh, baru kemudian kita nikmati seduhan teh ini. Bagiamana rasa teh ini? ... sangat berbeda dengan teh yang disajikan saat kunjungan di lembaga riset teh sebelumnya, rasa umami alias gurih-nya demikian terasa. Namun menurut saya ... rasanya tetap sama, aneh. Namun setidaknya terbukti bahwa benar hyoguro yang memang diolah dari daun teh yang dibudidayakan di bawah naungan, memiliki kandungan asam amino tinggi tercermin dari rasanya yang begitu gurih.<br />
<br />
Pada tahap 2, sama persis seperti tahap pertama. Dengan menggunakan sisa seduhan teh di tahap 1 kita tambahkan lagi airnya hanya saja setelah air ditampung di cawan, kita tidak menuangkannya ke cangkir melainkan langsung ke teko sehingga seduhan ke-2 ini suhunya lebih tinggi. Lalu kita bisa mencoba hasil seduhan teh ini, konon dengan suhu yang berbeda maka akan dihasilkan rasa yang berbeda pula. Saya pun mencobanya dan entah kenapa menurut saya rasanya sama dan tetep aneh.<br />
<br />
Tahap ke-3 kembali kita mengulang menambahkan air lagi, kali ini langsung dari thermos sehingga suhunya lebih tinggi lagi. Setelah mencobanya, rasanya tetap sama, aneh. Menurut penjelasan sang instruktur, setelah tahap ke-3 ini, merupakan saat yang tepat untuk mencoba chocolate green tea yang disediakan. Kalo yang ini rasanya enak, manis hehehe. Meskipun ini pengalaman pertama saya mencoba tatacara minum teh ala Jepang, dan berkesimpulan dengan rasa yang aneh. Namun saya jadi sedikit tahu bahwa yang sesungguhnya dinikmati dari acara minum teh ini bukan semata rasa tehnya, namun lebih dari itu adalah berbagai pakem atau tatacara yang terus dijaga, meski kadang terkesan rada aneh. Pelajaran lainnya adalah saya jadi tahu kenapa suhu teh menjadi demikian penting. Kembali berdasarkan penjelasan sang instruktur (saya sendiri belum tahu penjelasan ilmiahnya) pada suhu yang rendah maka asam amino lebih dominan diekstrak dari teh dari pada teanin, sehingga untuk mendapatkan rasa yang pas memang sebaiknya menggunakan air yang hangat. Semestinya sih teori ini bisa dibuktikan dengan pentahapan suhu seperti yang dijelaskan sebelumnya, namun entahlah saya ndak bisa membedakannya, atau karena saya terlalu terburu-buru sampai pada kesimpulan rasa aneh tadi ya ... entahlah. [ZA]<br />
<br />
<br />
<br />
</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-8001415685345183732011-05-01T09:34:00.002+09:002011-05-29T15:50:05.050+09:00Catatan Pagi ini ... (2)An advice taken from Muslim Book Pack:<br />
<div><br />
<div><i>"My dear child, it is better to become a mute with intelligence than to become talkative with foolish. Everything has sign, sign of intelligence is thinking, and sign of thinking is silence. Whoever speaks of dreadful things, then one is doing something in vain, whoever looks at thing without being able to learn, then one is negligent, and whoever keeps silent without thinking, then one is careless."</i></div></div><div><br />
</div><div><br />
</div><div><br />
</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-5745776039715090542011-04-07T09:47:00.006+09:002011-04-07T09:57:00.197+09:00Sebaran Pusat Peradaban dan Pengembangan IPTEKS ... (?)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-jCadYFQPw0o/TZ0BWKky4mI/AAAAAAAAAlU/ZI4f1Q6D_lI/s1600/peradaban.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-jCadYFQPw0o/TZ0BWKky4mI/AAAAAAAAAlU/ZI4f1Q6D_lI/s1600/peradaban.jpg" /></a></div><br />
<div style="text-align: justify;"><i><br />
</i></div><div style="text-align: justify;"><i>"Mungkin beginilah gambaran pusat peradaban dan pengembangan IPTEKS dunia saat ini ... "</i></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kira-kira demikian yang terlintas dalam benak saya tatkala tak sengaja menemukan sebaran peta pengunjung pada suatu situs yang membahas teori/metode matematika. Kebetulan akhir-akhir ini 'energi keterpaksaan' membawa saya bernostalgia, berinteraksi dengan lebih intens dan kembali jatuh cinta pada pelajaran satu ini. Sebagai sebuah ilmu dasar, nampaknya minat untuk mempelajari matematika pantas dijadikan ukuran yang cukup representatif untuk mengukur perkembangan keilmuan dan teknologi di suatu wilayah. Dari peta tersebut jelas terlihat bagaimana kawasan Eropa Barat, Amerika Utara dan di susul Asia Timur demikian mendominasi dan bisa dikatakan di masing-masing kawasan itu juga menyebar secara merata. Jika kita fokuskan kawasan Asia saja dengan jelas terlihat negara-negara di Asia Timur seperti China, Taiwan, Jepang dan Korea, serta India di Asia Selatan demikian mencolok dibandingkan negara lain. Tak heran bila negara-negara ini bisa dikatakan demikian pesat perkembangan sains, teknologi dan juga industrinya. Untuk kawasan lain nampaknya tidak demikian mencolok, bahkan di kawasan Timur Tengah hanya daerah Iran saja yang tertarik untuk mengakses.</div><br />
<div style="text-align: justify;"><i>Lalu bagaimana dengan Indonesia? ...</i></div><div style="text-align: justify;"><i><br />
</i></div><div style="text-align: justify;">Untuk itu coba kita tengok kawasan Asia Tenggara, tampak jelas Malaysia, Thailand dan Vietnam jauh meninggalkan negara-negara lain termasuk Indonesia. Dan yang lebih mengenaskan lagi di Indonesia pun itu hanya dua lokasi utama yang keduanya ada di satu pula, Jawa. Dari peta itu pula kita bisa lihat bahwa hanya 2 lokasi utama di pulau Jawa; di bagian timur, nampaknya itu adalah Surabaya, dan bagian barat, mungkin Jakarta dan Bandung. Tentu peta sebaran pengunjung dalam situs ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan sejauh mana perkembangan sains dan teknologi suatu negara, namun setidaknya ini memberikan peringatan bagi kita bahwa kita amat jauh tertinggal dari negara-negara lain. Klo matematika saja, yang merupakan pondasi bagi pengembangan ilmu-ilmu lain kita tertinggal, bagaimana dengan yang lain ?! ... <b>[ZA]</b></div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-70331844075006656592011-03-27T09:23:00.008+09:002011-05-29T15:49:34.178+09:00Catatan Pagi ini ... (1)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://lh4.googleusercontent.com/-Easqlpijdls/TY6Jn6qKNUI/AAAAAAAAAkA/tD_3j454EKY/s1600/IMG_0234.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="239" src="https://lh4.googleusercontent.com/-Easqlpijdls/TY6Jn6qKNUI/AAAAAAAAAkA/tD_3j454EKY/s320/IMG_0234.JPG" width="320" /></a></div><br />
Mengawali pagi ini dengan sarapan sepiring menu 'special' ayam bumbu bali plus segelas teh hangat. Ya sengaja pakai kata 'special' karena di masak standar dg bumbu instan dan karenanya semalam diledek teman "Dasar anak kos, <i>preservative </i>man (baca : kebanyakan bahan pengawet)". Tapi <i>all in all</i> cukup maknyuss ditengah suasana Kyoto yang masih saja dingin sekalipun konon saat ini telah memasuki musim semi ...<br />
<div><br />
</div><div>Pagi ini tepatnya hari-hari belakang ini ada beberapa hal yang terus mengusik benak ini untuk mencoba merenungkan sebenarnya dimana kaki ini sedang berpijak dan kemana kiranya ia akan melangkah. Sebuah kekhawatiran terselip di sana ... mungkinkah saya sedang 'kesasar'?! ... Hingga akhirnya ketika sejenak nengok kabar kawan-kawan di fesbuk ... disana ketemu beberapa coretan teman di <i>wall</i>-nya yang menarik dan kiranya patut utk direnungkan, ada pelajaran penting yg bisa dipetik dari sana :</div><div><br />
</div><div><div><i>"Rendah hati, dan jadilah bintang yang menjulang di langit Walau dalam bayangan air sekalipun, ia tetaplah menjulang tinggi Dan janganlah menjadi awan yang terbang ke langit seakan-akan tinggi, padahal tidak ada isinya apa-apa." </i>(Status Basuki Setya Graha, Minggu, 27 Maret 2011)</div><div><br />
</div><div>"<i>Jenguklah hati, jika hati tersakiti oleh manusia maka tengoklah niat, Jika niat masih karena Allah swt, maka usah hiraukan masalah dan sakit itu, karena ia akan selesai & sembuh. Allah swt bersama kita." </i>(Status Yossy Renggo Wardhani, Minggu, 27 Maret 2011)</div></div><div><br />
</div><div>Memang urusan hati selalu susah dipahami, atau itu semua terjadi karena kita kurang berinteraksi dan peduli dengannya ... Mungkin kita memang patut waspada akan hal ini. Bukankah semua nilai amal kita, bahkan nilai hakiki diri kita sangat ditentukan olehnya. Jangan sampai kita bak pedagang yang terus sibuk dengan perdagangan kita, targetx2 penjualan, promosi, menjalin relasi/network dll tanpa pernah tahu apakah dia untung atau rugi, karena tersibukkan dengan semua urusan-urusan itu. Ja ... waspadalah!!! [ZA]</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-55151756726728237522011-02-20T16:42:00.005+09:002011-03-27T09:36:53.597+09:00Gene Patent & Bio-Capitalism<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6aHwC3ac3aaRZ3k6CDf6AHHbhFPU31wIH8k6kgLzdYpj0IAPmFRm7QfQt-R3K4OuGm19U78EMtKzboRGB5QmKg84XsmIJ7wUMgOVkABnUe89goe00sGpDAc-IQPOqmdPpLeBlP8P2Fifu/s1600/dna.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6aHwC3ac3aaRZ3k6CDf6AHHbhFPU31wIH8k6kgLzdYpj0IAPmFRm7QfQt-R3K4OuGm19U78EMtKzboRGB5QmKg84XsmIJ7wUMgOVkABnUe89goe00sGpDAc-IQPOqmdPpLeBlP8P2Fifu/s320/dna.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">dna (<i>source: mitoaction.org</i>)</td></tr>
</tbody></table><div style="text-align: justify;"><br />
Tulisan ini merupakan oleh-oleh dari acara '<i>nge-date</i>' hari ini [baca : pertemuan, ngobrol, atau diskusi]. Sebuah topik menarik yang cukup aktual dan cukup penting untuk kita simak, tentang paten khususnya pada produk-produk riset di bidang bio-teknologi. Materi ini disiapkan dan disampaikan oleh seorang senpai saya, Cahyo Budiman, kandidat doktor dari Osaka University, Jepang. </div><br />
<div style="text-align: justify;">Berikut abstract dari makalah yang disampaikan, karena males memparafrasekan & nulis lagi jadi saya posting 'mentah-mentah' sesuai aselinya :</div><br />
<div style="text-align: center;"><b><span style="font-size: large;">Gen Paten dan Biokapitalisme</span></b></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">Cahyo Budiman*</div><div style="text-align: center;"></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><b>Abstrak</b></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Bulan ini tepat satu dekade Human Genome Project (Proyek Genom Manusia) purna pasca diumumkan 15 Februari 2001 lalu. Keberhasilan ilmuwan mensekuens gen pada manusia menyisakan masalah besar pada isu hak paten atas gen (gene war) yang hingga kini masih penuh dengan perdebatan. Hingga tahun ini, tidak kurang dari 20% gen manusia sudah dipatenkan yang berakibat (salah satunya) pada isu-isu biaya kesehatan. Pada satu sisi, dibukanya peluang paten terhadap gen merupakan bentuk insentif bagi para peneliti, membuka peluang lebih besar dalam berbagi informasi dan inovasi di antara peneliti, dan mereduksi duplikasi riset yang sama. Sementara skeptisme terhadap paten muncul dengan berbagai alas an ilmiah, etik, dan ekonomi. Dari sisi ekonomi, sistem paten saat ini menyebabkan biaya akses dan penggunaan informasi yang sangat besar sehingga secara ekonomi memberatkan publik secara luas. Fakta bahwa tingginya biaya kesehatan (terapi gen, obat-obatan, deteksi kanker, dan sejenisnya) merupakan fakta yang diusung para penentang gen paten. Inilah yang dikenal dengan istilah biokapitalisme (Shenk, 1997; Candlish, 2002). Sementara di sisi lain, banyak fakta yang menujukkan bagaimana pekembangan bioteknologi yang melaju pesat juga tidak lepas dari “intensif” paten (kasus pada Genentech, Monsanto, Eli Lily, dan sebagainya). Kajian ini mencoba memberikan gambaran perang paten gen yang terjadi saat ini disertai dengan uraian singkat bagaimana hak paten diatur dalam syariah. Diharapkan gambaran tersebut bisa menjadi pointer diskusi lebih mendalam tentang bagaimana negara semestinya berperan dalam melindungi masyarakat dari efek negatif biokapitalisme tersebut dengan tetap menjaga ritme kencang riset di bidang ini.</i></div><i><br />
</i><br />
<i><b>Kata kunci: </b>gen, paten gen, biokapitalisme</i><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Tentu materi yang disampaikan lebih lengkap dan menarik dari sekedar abstrak di atas, berbagai pertanyaan dan komen yang muncul selama acara '<i>nge-date</i>' berlangsung juga amat menarik, seperti : Dilema antara kebutuhan dana yang besar untuk melakukan riset (misal) di bidang bioteknologi vs. hak masyarakat untuk mendapatkan akses yang mudah dari hasil riset itu sebagai solusi bagi masalah kesehatan, peningkatan produksi pertanian, dll; Patent sebagai salah satu stimulus yang meng-<i>encourage</i> peneliti untuk melakukan risetx2 berkualitas; siapa yang sesungguhnya paling diuntungkan dengan sistem per-<i>paten</i>t-an yang saat ini ada?; Peran serta pemerintah dalam mendukung pengembangan riset dan di saat bersamaan memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan hasil riset tersebut; Bagaimana patent jika dipandang dari kacamata syariah islam serta bagaimana para akademisi, peneliti mesti bersikap dengan kondisi aktual saat ini; serta berbagai diskusi menarik lain ... ingin tahu selengkapnya? Silakan tunggu edisi lengkapnya yang akan segera diterbitkan bersama beberapa artikel menarik lainnya, insya Allah dalam waktu dekat ini. [ZA]</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-73575878764508394322011-02-05T13:26:00.003+09:002011-02-10T19:09:01.387+09:00Otsukaresama deshita ...<div style="text-align: justify;">Seperti halnya keinginan mengulang moment istimewa, <i>majestic moment</i> (begitu pernah saya baca disebuah blog), tatkala Archimedes berteriak ... "Eureka!". Saya berharap suatu hari nanti moment itu akan menghampiri saya, momen untuk meneriakkan "Eureka!" ... tidak hanya sekali. Saya berharap moment itu akan hadir lebih dari itu, berkali-kali. Semoga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Untuk saat ini saya berharap bisa ber-<i>ganbatte</i> untuk melakukan yang terbaik, memulai hari dengan penuh semangat & optimisme, mengisi hari-hari dengan hal-hal positif & bermanfaat, serta menutup hari itu dengan sebuah ucapan mantab dengan penuh keyakinan bahwa saya pantas mengucapkannya ... "Otsukaresama deshita!!!" ... <i>good job. S</i>ebuah sapaan khas ala orang Jepang seusai bekerja, sebuah penegasan bahwa dia telah <i>all out</i>, mencurahkan segala upaya untuk melakukan yang terbaik. [ZA]</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-20723404492001756562011-02-03T23:21:00.002+09:002011-02-03T23:26:51.808+09:00Sebelum Menulis ... Mulailah dengan Membaca<div style="text-align: justify;">Menulis ... bisa dikatakan pekerjaan yang susah-susah gampang. Susah ... bisa dibilang begitu, bagi sebagian kita yang suka jalan-jalan ke toko buku, coba tengok berapa judul buku baru yang ditulis di tanah air dalam 1 bulan, bisa dipastikan jumlahnya sangat minim jika kita melihat penduduk negeri kita yang sudah hampir 250 juta jiwa; atau coba kita tanya orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, riset, bagaimana sulitnya mempublish 1 buah paper di jurnal internasional. Gampang ... bisa juga dibilang begitu, klo kita ditanya bisa tidak menulis, tentu demi rasa hormat kita pada guru TK atau SD kita yang sudah mendidik dengan baik, kita pasti akan mengatakan bisa lah ... atau ada yang <i>ngeyel </i>bersikukuh ndak bisa nulis ... hehehhe.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Salah satu kendala yang seringkali menjadi penyebab utama kegiatan menulis menjadi demikian susah, adalah ketidak-tahuan kita tentang apa yang akan kita tulis, ndak ada ide; dan penyebab utama ketidak-tahuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah kurangnya kita mengakses informasi. Oleh karena itu untuk menjadi seorang penulis yang baik dan produktif tentu harus punya bekal yang cukup ... terutama ide dan informasi. Salah satu aktivitas yang bisa memberikan bekal yang cukup untuk itu adalah membaca. Dengan membaca maka semakin banyak maklumat/informasi yang masuk dalam otak kita, sehingga kita bisa memadu padankannya menjadi sebuah pemahaman tertentu atau memicu munculnya ide-ide baru. Tentu akan sangat baik jika aktivitas ini menjadi salah satu kebiasaan kita, menjadi sebuah <i>habit</i>. Kan tentunya kita tidak mau disebut orang sebagai 'PKI' (baca: Pemuda Kurang Informasi). So, klo ada orang bilang 'ikatlah ilmu dengan menuliskannya' .... maka benar pula jika kita katakan "Sebalum menulis ... mulailah dengan membaca".[ZA]</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-82931446344492942072011-01-23T12:55:00.005+09:002011-02-10T07:50:05.125+09:00Integrated 'mikan' Orange Farming in Wakayama Prefecture, Japan<div style="text-align: justify;"></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2oIcSYcSb6fX1jOb-XXO9TYTkeOm1P5_8YhVkMMrk1qdGXLNtvmj1wObMtPt8xVdGKY54g3X7fZAX5k1EqkWHXq8-6p4IzDEdcRC0wAyKh0dHHlDwulDPJqKgElOBFfVL0DdacuGocEUU/s1600/mikan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="272" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2oIcSYcSb6fX1jOb-XXO9TYTkeOm1P5_8YhVkMMrk1qdGXLNtvmj1wObMtPt8xVdGKY54g3X7fZAX5k1EqkWHXq8-6p4IzDEdcRC0wAyKh0dHHlDwulDPJqKgElOBFfVL0DdacuGocEUU/s320/mikan.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">"Mikan" orange <i>(japanesesnackreview.blogspot.com)</i></td></tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Sekitar pertengahan November 2010 lalu ada sebuah acara jalan-jalan yang diorganisir oleh International Student Division tepatnya acara field trip ke sentra produksi jeruk di daerah Wakayama. Meski harus diawali dengan sedikit ‘kekacauan’ karena saya nyaris datang terlambat karena semalaman begadang ngejar deadline menyelesaikan editing proceeding (meski akhirnya pagi itu belum selesai juga sehingga harus dilanjut di sepanjang perjalanan dalam bus dan disindir orang terkesan ‘sok sibuk’ atau ‘sok jadi wartawan’ … hehhe), hingga berkali-kali di telepon senpai. <i>Whatever</i> lah yang pasti perjalanan ini cukup mengesankan … hehehe. </div><div></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Oke <i>here we go ….</i></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b>Sekilas tentang budidaya ‘mikan’ di Wakayama</b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Wakayama Prefecture terletak di semenanjung Kii, di Regional Kansai, Pulau Honsu, Jepang. Daerah yang dihuni oleh kurang dari satu juta orang dengan kepadatan penduduk sekitar 200 orang/km<sup>2</sup> ini terkenal sebagai sentra utama penghasil jeruk (orang Jepang sering menyebutnya 'mikan',meski ada juga jenis lainnya juga). Bahkan ini bisa dikatakan usaha merupakan aktivitas ekonomi utama di kawasan ini. Selain sebagai penghasil jeruk yang sering dijadikan obyek kunjungan ekowisata, sebenarnya ada juga berapa objek wisata lain yang menarik di daerah ini seperti wakayama castle (kalau lihat tempat ini jadi ingat game benteng takeshi ), pemandian air panas (<i>onsen</i>) di daerah Natchikatsuura, air terjun Natchi dan beberapa objek wisata lain. Namun dalam tulisan ini kita hanya akan berbincang tentang wakayama sebagai sentra produksi jeruk di Jepang.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
<a name='more'></a></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFH1NLbqYyaNsWbno5Wgm3abLA75v85Vf7IN4uRjOgMqkKIMfDiE1fgahBWTFW9EVVXAz16AD4Ns2uhV7pYNd2gQ0fg8Aa6R4w27NTmziAMUFmajdYNSWgEPu-KxqltRocdrDWBXzUJG0h/s1600/wakayama+castle.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFH1NLbqYyaNsWbno5Wgm3abLA75v85Vf7IN4uRjOgMqkKIMfDiE1fgahBWTFW9EVVXAz16AD4Ns2uhV7pYNd2gQ0fg8Aa6R4w27NTmziAMUFmajdYNSWgEPu-KxqltRocdrDWBXzUJG0h/s320/wakayama+castle.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Wakayama Castle <i>(japan-web-magazine.com)</i></td></tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"> Ketika berbicara tentang sentra produksi jerukdi Jepang, ada daerah lain yang mesti disebut yaitu daerah ehime, yang ada di Pulau Shikoku. Mungkin ada hal-hal yang berbeda, namun di dua kawasan ini, boleh dikatakan budidaya tanaman jeruk telah dilakukan dengan sistem yang sangat maju. Baik dalam aktivitas <i>on-farm </i>maupun <i>out-farm</i>. Infrastruktur yang tersedia pun sudah sangat memadai, mulai dari jalan yang tertata dengan baik sehingga memudahkan akses kendaraan; penggunaan mesin-mesin pertanian, sistem irigasi yang tertata rapi, hingga tersedianya jaringan semacam monorel yang sangat membantu petani untuk melakukan aktivitas ‘angkut-mengangkut’. </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Hal lain yang menarik dari budidaya jeruk di wakayama ini adalah keberadaan packing house yang dilengkapi berbagai technologi mutakhir untuk evaluasi mutu dan juga proses grading. Hal ini juga merupakan ciri khas pertanian di Jepang yaitu mereka memproduksi dan menjual produk-produk dengan kualitas yang tinggi, dalam berbagai grade tertentu dengan konsistensi dan keseragaman yang tinggi dalam grade tersebut sehingga cukup <i>‘reasonable</i>’ jika mereka membandrol produk-produk tersebut dengan harga yang tinggi. Oleh karena itu keberadaan mesin-mesin pertanian dan juga packing house menjadi sebuah kebutuhan utama bagi pertanian Jepang. Kondisi ini pula yang mendorong perkembangan teknologi pertanian di Jepang selain faktor lain seperti dukungan pemerintah dan perusahaan swasta yang juga amat besar.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Kembali ke budidaya jeruk di Wakayama. Secara umum hampir sama dengan budidaya jeruk pada umumnya selain system irigasi tetes yang diterapkan agar efisien serta jaringan monorel untuk sarana angkutan (misal untuk mengangkut buah yang telah dipanen). Singkat cerita , setelah jeruk dipanen, kemudian dikirim ke packing house. Di sana jeruk-jeruk ini dievaluasi mutunya untuk selanjutnya di kelompokkan sesuai grade tertentu. Evaluasi mutu ini meliputi kualitas eksternal (ukuran, bentuk, warna, cacat pada buah) maupun kualitas internal (kandungan gula dan tingkat keasaman). Sebagian besar proses dilakukan dengan peralatan canggih seperti <i>machine vision system</i> untuk penilaian kualitas eksternal dan <i>near infra red</i> (NIR) <i>spectroscopy</i> untuk penilaian kualitas internal, bahkan beberapa proses dilakukan dengan robot. Meskipun demikian masih ada juga beberapa proses yang dilakukan secara manual, seperti pengecekan akhir. Selama proses sortasi ini berlangsung, data kualitas mutu ini juga disimpan untuk keperluan riset dan pengembangan. Pemanfaatan mesin dan teknologi mutakhir di packing house ini memberikan pengaruh yang signifikan pada usaha ini, biaya untuk melakukan grading menurun hingga 70% jika dibandingkan secara manual, waktu yang diperlukan berkurang dengan sangat signifikan, kebutuhan tenaga kerja berkurang secara drastis, kualitas dan keseragaman produk terjaga dengan baik yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan konsumen, sistem penetapan harga dan pembayaran berdasarkan kualitas yang lebih baik kepada petani dan banyak dampak positif lain.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Selain sistem budidaya dan infrastruktur yang baik, kesuksesan Wakayama menjadi sentra produksi jeruk utama di Jepang juga didukung oleh keberadaan lembag riset pemerintah. Berbagai riset dilakukan untuk terus melakukan inovasi dan perbaikan-perbaikan dari system yang telah ada. Salah satu contohnya adalah penggunaan data GIS yang dipadukan dengan data kualitas buah dari packing house untuk memantau kondisi kebun serta mempelajari kondisi terbaik untuk mendapatkan produksi optimum. Hasil temuan ini kemudian disampaikan ke petani sebagai <i>feedback</i> sehingga petani bisa melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki system produksinya.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b>Peran pemerintah </b><b>dan kalangan bisnis/professional dalam pengembangan usaha agribisnis </b><b></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Berdasarkan informasi yang disampaikan salah satu peneliti yang menjadi pemandu selama kunjungan kami, pembangunan packing house ini diinisiasi oleh pemerintah. Pembangunan dilakukan oleh pemerintah, namun pemerintah hanya menanggung 50% anggaran, sisanya harus ditanggung oleh petani dan dikembalikan ke kas negara secara bertahap melalui koperasi yang mengelola fasilitas ini. Pada prinsipnya pengelolaan <i>packing house</i> ini dilakukan oleh petani, namun dalam kesehariannya usaha ini dikelola dengan manajemen dan tenaga profesional. </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Sebelum jauh melangkah, nampaknya perlu disinggung sedikit mengenai kelembagaan petani yang ada di Wakayama ini. Umumnya usaha budidaya jeruk ini merupakan usaha keluarga dengan luasan kebun sekitar satu atau beberapa hektar. Selanjutnya keluarga-keluarga ini bergabung dalam koperasi dan menjalankan ‘bisnis’ ini bersama-sama. Memang ada juga petani yang tidak bergabung dan menjalankan usahanya secara mandiri namun jumlahnya kecil. Hingga saat ini sekitar 850 petani/keluarga tergabung dalam koperasi ini. </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Keberadaan koperasi dan pengelolaan secara professional, menjadikan aspek bisnis dari budidaya jeruk ini berjalan dengan ‘benar’, sebagai mana mestinya. Budaya korporasi benar-benar diperkenalkan di sini, keberadaan koperasi membuat petani memiliki bargaining position sehingga lebih bisa berperan dalam mengontrol harga, lebih bisa ‘bersuara’ terkait berbagai kebijakan terkait pertanian. Tidak hanya itu isu-ise seperti efisiensi, produktivitas, pengembangan usaha bisa mendapat perhatian lebih. Petani tidak hanya menanam, merawat, memanen dan menjual, tetapi dengan bantuan manajemen professional mereka bisa melakukan hal lebih seperti melakukan analisis pasar sehingga tahu trend di masyarakat (e.g. anak muda lebih senang minum jus karena lebih praktis), mengembangkan produk baru (e.g. jus, buah dalam kaleng dll), melakukan ekspansi pasar, melakukan promosi untuk meningkatkan penjualan dll. </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b>Kemungkinan penerapan <i>integrated farming</i> di Indonesia</b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Bila kita melihat demikian majunya sistem budidaya di wakayama ini, selain rasa kagum tentu terlintas dalam benak kita tentang perbandingan dengan kondisi di tanah air, atau mungkin kita akan bertanya mungkinkah kita mengadopsi sistem ini di tanah air. Sesungguhnya banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan di Indonesia. Banyak daerah di Indonesia yang sejak lama dikenal sebagai sentra produksi suatu produk tertentu, sebut saja Pontianak dengan jeruknya, Batu dengan apelnya atau Ciwidei dengan stawberinya.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirMa21E7nmguVTeWtER3phiTMBju5xoAbMkYNWqTre7rM2DfkV2UDfUGX7whw1HO0x8wBHgGZekW74hnJHHJex_lkhYdhZFiIuBNYp7j7XF19oU7JS6fvwQkFpe2HJiFbm9ZWu-6T71r9v/s1600/apelmalang2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="287" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirMa21E7nmguVTeWtER3phiTMBju5xoAbMkYNWqTre7rM2DfkV2UDfUGX7whw1HO0x8wBHgGZekW74hnJHHJex_lkhYdhZFiIuBNYp7j7XF19oU7JS6fvwQkFpe2HJiFbm9ZWu-6T71r9v/s320/apelmalang2.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Apel Malang (<i>twincrescent.hostzi.com</i>)</td></tr>
</tbody></table></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Jika kita tengok dari sisi teknologi, sesunggunya kita mampu. Banyak putra-putri Indonesia yang telah menguasai dan mengembangkan teknologi ini. Cobalah jika ada kesempatan Anda berkunjung ke balai penelitian milik Departemen Pertanian atau beberapa universitas di tanah air yang memiliki jurusan teknik pertanian, baik langsung atau mungkin cukup dengan menjelajah di dunia maya, dan tengoklah riset yang dilakukan di sana. Anda akan menemukan bahwa apa yang telah mereka kembangkan tidak jauh ketinggalan dari apa yang saya sebutkan di tulisan ini. Mungkin kita akan bertanya, kalo memang teknologi itu telah kita kuasai dan kembangkan, ke mana saja itu semua, kok tidak ada aplikasinya sama sekali di lapangan atau mungkin tidak memberikan dampak apapun bagi kemajuan pertanian di tanah air. </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Perlu kita sadari bahwa permasalahan ini tidak semata menyangkut aspek teknologi, banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan dan turut menentukan penerapan sistem ini. Untuk pengembangan ini perlu tentu modal besar sehingga kehadiran investor yang mau membiayai tentu diperlukan; iklim usaha dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung tentu sangat diperlukan, sebut saja kebijakan untuk investasi, penyediaan modal usaha/kredit atau inisiasi modal seperti yang terjadi di Wakayama, kebijakan ekspor-impor yang mendukung perkembangan pertanian dalam negeri; kerjasama yang erat antara lembaga riset atau perguruan tinggi dan yang pasti adalah peran serta petani untuk terlibat, terbuka dengan hal-hal baru dan kemauan untuk terus belajar. Memang tidak mudah, namun saya kira itu bisa. Satu modal utama yang sangat penting adalah kemauan (<i>willing</i>). Bukankah orang bilang ‘<i>where there is a will there is a way’, </i>atau orang jawa bilang ‘<i>ono karsa ono marga’ </i>… yang kurang lebih berarti dimana ada kemauan insya Allah di sana ada jalan. Kalau hari ini kita bertanya kenapa pertanian kita tidak maju? … mungkin kita perlu juga bertanya … apakah ada kemauan pada diri kita memajukannya? … iya benar ‘kita’ merujuk pada semua pihak pemerintah, akademisi, peneliti, petani, konsumen, kalangan usaha. <b>[ZA]</b></div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-10829318433876666422011-01-15T19:56:00.008+09:002011-02-10T19:06:57.723+09:00Lesson from H to O (H2O) Study<div style="text-align: justify;">Minggu ini ada sebuah '<i>open seminar</i>' tentang konservasi SDA khususnya di kawasan pesisir dan laut. Dalam kesempatan ini ada dua pembicara tamu yaitu Profesor Masaru Tanaka (Jepang/Malaysia) dan Dr. Makruf Kasim (Indonesia). Topik yg diperbincangkan memang agak jauh dari bidang saya plus motivasi awalnya hanya sekedar menunjukkan apresiasi kepada rekan dari Indonesia, namun pada akhirnya saya merasa bersyukur bisa mengikutinya. Beberapa catatan penting bisa dipetik dari acara ini.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSaM9-uGue4dstLhSAffj_6faEVh7ku1TAB6njXZA-TySUKHeam6GpLicsiyRyWm7SKkEpe0kp1dMOAPykN1YwQSli8VSyR8HJiOy48jpXV4Sku-hiv-jWlWWqAJd5eQsL8uei_bRMaUhO/s200/h20_molecule.gif" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="163" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>source : www.gm.com</i></td></tr>
</tbody></table><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><br />
Salah satu yang menarik adalah konsep '<i>Headwater to Ocean'</i> (bisa disingkat 'H to O' atau agar lebih <i>eyecatching</i> bisa ditulis 'H<span style="font-size: xx-small;">2</span>O') yang disampaikan oleh Tanaka-sensei. Beliau yang kini banyak melakukan riset di Malaysia ini adalah pakar biologi kelautan yang sepanjang kariernya memfokuskan diri pada bidang ini, namun setelah pensiun beliau memperluas minat beliau ke arah integrasi berbagai bidang keilmuan. Beliau meyakini bahwa untuk menyelesaikan masalah, pendekatan satu disiplin ilmu saja tidak cukup, perlu pendekatan multidisiplin secara integral. Singkatnya dari berbagai studi yang beliau lakukan baik di Malaysia, Jepang, China dll. beliau menemukan bahwa ekosistem terestrial maupun maritim merupakan suatu yang saling terkait, saling terintegrasi. Sebagai contoh beliau menyebutkan bagaimana perairan di utara laut Jepang menjadi kawasan tangkapan ikan dengan luar biasa, tidak lepas dari peran kawasan hutan, sungai, daerah aliran sungai di China; contoh lainnya beliau menyebutkan bagaimana kehadiran sebuah bendungan pembatas di Malaysia, yang digunakan untuk memisahkan antara kawasan laut dan muara sungai demi perluasan lahan pertanian, mampu mengubah dan menurunkan kualitas lingkungan secara siginifikan. Inilah yang melatar belakangi gagasan 'H<span style="font-size: xx-small;">2</span>O', bahwa konservasi perlu dilakukan secara menyeluruh dari kawasan hutan, DAS dll ('<i>Headwater</i>') hingga kawasan pesisir, laut ('<i>Ocean</i>'). Dalam konteks Indonesia pun banyak sekali kaitan 'H<span style="font-size: xx-small;">2</span>O' ini yang bisa kita sebutkan, salah satunya mungkin bagaimana kawasan Bogor selalu menjadi 'kambing hitam' atas bencana banjir (meski mungkin ada juga yang lebih suka menyebutnya genangan) di Jakarta. <br />
<br />
<a name='more'></a>Salah satu pemaparan beliau selanjutnya yang menarik adalah tentang peran masyarakat dalam usaha konservasi ini. Bagaimana masyarakat mampu memahami semua elemen seperti hutan, daerah aliran sungai, pesisir, laut bahkan mungkin juga desa, kota, sebagai satu kesatuan tak terpisahkan serta terlibat aktif dalam upaya menjaga kelestariannya. Satu kata kunci yang demikian pas beliau sebutkan adalah '<i>lifestyle'</i>. Tidak bisa dipungkiri bahwa secara alami kita menginginkan kehidupan yang terus semakin nyaman, mudah, menyenangkan. Bahkan sering kali keinginan-keinginan itu jauh melebihi kebutuhan kita. Betapa '<i>lifestyle</i>' kita menyebabkan kebutuhan energi meningkat demikian pesat, sehingga banyak hutan harus digunduli untuk pertambangan, atau di-'<i>make over</i>' menjadi kebun sawit; betapa banyak hutan mangrove yang disulap menjadi tambak atau hutan disulap menjadi lahan pertanian atau pemukiman; betapa banyak karang laut yang mati akibat bom ikan atau dirusak para turis yang menyelam demi menikmati keindahannya. Memang benar dorongan kebutuhan akibat pertumbuhan populasi penduduk itu benar adanya, namun tidak pula bisa dinafikkan bahwa '<i>lifestyle</i>' kita memiliki andil besar di sana, bahkan mungkin melebihi pengaruh populasi tersebut. Memang memiliki hidup yg nyaman, mudah sah-sah saja, tapi tentu ada harga yang harus kita bayar untuk itu semua, sebagaimana orang jawa bilang '<i>ono rega ono rupa</i>' (ada harga ada rupa/kualitas), semakin tinggi keinginan kita akan hidup yang serba instan, mudah, nyaman, semakin besar pula harga yang harus kita bayar. Menurunnya kualitas lingkungan hidup, perubahan iklim yang demikian ekstrim (bahkan sampai ada salju di musim panas di Australia) dan berbagai bencana yang melanda (banjir, tanah longsor, gagal panen, perubahan pola tanam karena perubahan iklim) dll. bisa jadi adalah sebagian dari 'harga' yang harus kita bayar. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Allah pun telah mengingatkan kita, bahwa berbagai <i>fasad</i> (kerusakan/bencana karena faktor manusia) merupakan sebuah peringatan akan akibat dari ulah tangan kita. Memang benar bumi ini diciptakan 'untuk kita', kita diijinkan utk memafaatkan karunia itu namun juga kita diwanti-wanti agar tidak berlebih-lebihan. <i>So </i>nampaknya kita perlu mulai belajar untuk memngevaluasi '<i>lifestyle</i>' kita, kita perlu memikirkan apa yang benar benar menjadi kebutuhan kita, bukan sekedar keinginan. Saya sendiri pun bukan seorang <i>ecologist</i> yg begitu peduli lingkungan, atau aktivis '<i>green</i>' generation, movement atau apalah itu namanya, namun saya yakin bahwa soal '<i>lifestyle</i>' ini sesungguhnya bukan hal baru. Istilah pemakmur bumi (<i>khalifatul fil ardh</i>), merasa cukup (<i>qanaah, zuhud)</i>, menghindari kesia-siaan (<i>tabdzir</i>), hidup yang seimbang dan tidak berlebih-lebihan, itu semua sudah dikenal sejak belasan abad lalu bahkan mungkin jauh sebelum itu. <i>So</i> hidup seperti apa yang kita jalani sekarang dan kehidupan seperti apa yang akan kita dapatkan di masa mendatang ... semuanya kembali pada diri kita. Bukankah memang dalam hidup itu kita selalu dihadapkan pada pilihan, dan selalu ada konsekuensi atas apapun pilihan itu.[za]</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-51893947082084489332011-01-02T19:03:00.002+09:002011-02-10T07:49:14.899+09:00* PINTAR itu untuk apa ?<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Beberapa hari yang lalu ada sebuah diskusi hangat di salah satu milis ternama di Indonesia, milis beasiswa, menganai topik <i>"Habis PhD terus Apa?"</i>. Banyak komentar dari rekan-rekan milister menanggapi, mulai dari jawaban 'klasik' : PhD lalu menjadi akademisi, ada yang menyarankan untuk bekerja di luar negeri di mana orang-orang pintar atau setidaknya dianggap pintar- karena pendidikan tinggi yang ditempuhnya- lebih mendapatkan tempat baik sebagai akademisi maupun profesional di industri. Namun ada juga yang memberikan komentar dari sudut pandang berbeda, beliau memandang jalur pendidikan merupakan sebuah jalan untuk membentuk KAPASITAS seseorang. Sebagaimana energi, seseorang yang memiliki kapasitas lebih tentu akan dapat melakukan lebih banyak hal. Dan idealnya setiap orang memahami betul dirinya, potensinya, cita-cita dan impian-impian yang hendak diwujudkan dalam hidupnya, serta kapasitas seperti apa yang diperlukan untuk merealisasikannya. <br />
<br />
Sebuah diskusi yang menarik yang tak urung memunculkan pertanyaan menggelitik dalam benak saya, dan saya pun yakin banyak orang mempertanyakan hal yang sama. Tidak hanya kali ini, pertanyaan ini pun sering muncul, "PINTAR ITU UNTUK APA?" <br />
<br />
<a name='more'></a>Hal ini mengingatkan saya pada kisah masa lalu seorang sahabat yang menarik untuk direnungkan. Entah berapa tahun yang lalu tepatnya, ada seorang anak yang baru menyelesaikan proses belajarnya di sebuah sekolah dan hendak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan harapan mendapatkan pendidikan terbaik dan bekal kecerdasan yang dimiliki tidak sulit baginya untuk masuk ke sekolah unggulan, sekolah terbaik di kotanya. Dia pun menyampaikan maksud tersebut kepada orang tua-nya. Ketika itu orang tuanya mengatakan,"Aku ndak punya cita-cita punya anak yang PINTAR kok nduk". Sebuah jawaban yang terdengar amat naif, bagi anak itu mungkin juga bagi saya dan Anda yang mungkin sempat membaca tulisan ini, bahan mungkin ada yang berseloroh "orang tua macam apa yang tidak menginginkan pendidikan terbaik dan menjadikan anaknya orang pintar." Namun kita mungkin tidak memahami persis apa yang dimaksud oleh kedua orang tua tersebut.<br />
Waktu pun berjalan dan si anak kini di penghujung masa studinya menempuh pendidikan tinggi di negeri orang jauh dari kampung halamannya. Mungkin karena terlalu sering membaca 'PhD Comic' di tengah-tengah kesibukannya, dia pun menemukan dirinya seolah berada dalam <i>'insignificance' </i>zone alias zona 'tidak penting'. Dia sering merenungkan "Jika yang dilakukan, kontribusi yang diberikan oleh orang-orang pintar, atau orang yang merasa pintar, atau orang yang dianggap pintar ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan, apa yang dikontribusikan oleh orang-orang 'biasa' pada umumnya, lalu PINTAR ITU UNTUK APA?". Setelah dia renungkan, sering dia berpikir bahwa utk mewujudkan apa yang dia cita-citakan mungkin dia tidak perlu jauh-jauh ke negeri orang untuk sekedar menjadi pintar. Dan kini dia pun mulai sedikit memahami kenapa orang tuanya tidak bercita-cita memiliki anak yang pintar.<br />
<br />
Ya mungkin kisah tadi hanya mewakili pandangan seseorang secara personal dan sangat singkat seperti misalnya kedua orang tersebut bercita-cita memiliki anak yang seperti apa, dll tidak dijelaskan sehingga sulit untuk dikomentari. Namun yang pasti amat patut kita renungkan "PINTAR ITU UNTUK APA?". Karena saya yakin bahwa Allah telah meng-anugrahi kita potensi kepintaran itu dalam beragam bentuknya. Dan bukankah Islam telah mengajarkan bahwa yang paling baik di antara kita adalah yang paling banyak memberikan manfaat dan kontribusi bagi orang lain? termasuk manfaat dan kontribusi yang bisa kota berikan dengan bemacam-macam potensi kepintaran kita.<br />
<br />
Bagi sebagian kita yang mungkin dikaruniai Allah 'kepintaran' dalam akademis kiranya perlu kita renungkan apa kontribusi yang bisa kita berikan dengan ilmu kita. Apakah ilmu kita memberikan manfaat bagi orang lain ataukah sekedar menjadi sebuah kebanggaan, prestige, dan berujung pada kesombongan intelektual. Bagi sebagian kita yang mungkin Allah karuniai kepintaran berupa kelebih-tahuan dalam hal agama, kiranya perlu kita renungkan apakah pengetahuan itu telah menjadikan kita semakin bertaqwa kepada Allah, Tuhan pencipta Semesta ini. Apakah pengetahuan itu mampu membimbing kita dan orang lain mewujudkan hidup yang indah, hidup yang penuh rahmat dan berkah, sebagaimana yang Islam gambarkan. Atau justru sedikit pengetahuan itu menjadikan kita berbangga diri, ashobiyah pada satu golongan, seolah dengan memilikinya menjadikan diri kita pendebat yang ulung dll. (meskipun hal-hal ini sepertinya justru menunjukkan ketidak-pintaran seseorang yang merasa pintar =) ). Selanjutnya mungkin Sebagian kita dikaruniai kepintaran dalam berbisnis, mengelola usaha, kiranya perlu kita renungkan apakah kepintaran itu telah kita gunakan untuk menjalankan bisnis sesuai syariah serta memberi kemanfaatan yang luas bagi masyarakat. Atau sekedar untuk menumpuk harta meski untuk itu harus menempuh segala cara serta tanpa ada kepedulian dengan sesama di sana. Dan banyak lagi yang lain.<br />
<br />
Sekali lagi patut kita renungkan :<br />
"Jika yang dilakukan, kontribusi yang diberikan oleh orang-orang pintar, atau orang yang merasa pintar, atau orang yang dianggap pintar ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan, apa yang dikontribusikan oleh orang-orang 'biasa' pada umumnya, lalu PINTAR ITU UNTUK APA?". (ZA).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">*) Coretan ini adalah pindahan dari note lama di facebook </div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-42367781518066454782011-01-02T09:17:00.005+09:002011-02-10T07:52:34.379+09:00Mencintai Diri Sendiri dengan Sesungguhnya Cinta<div style="text-align: justify;">Mencintai diri sendiri? ... Terdengar amat egois. Namun itu adalah awal dari kebaikan. Setidaknya itulah sebuah pelajaran yang disampaikan Pak Jalaludin Rahmat dalam sebuah acara di salah satu stasiun TV Nasional pagi ini. Dalam paparannya ia mengutip sebuah kisah tentang seorang sahabat, Salman Al Farisy. Suatu ketika ia diminta merangkum pelajaran-pelajaran hidup yang diajarkan Rasulullah dalam sebuah kalimat sederhana. Lalu salman dia menyampaikan, " Untuk mencintai Allah, mulailah dengan mencintai orang yang paling dekat dengan dirimu". Siapakah orang yang paling dekat dengan kita? ... Ibu, Bapak, Saudara, Sahabat, Suami, Istri, atau ...? Mereka boleh jadi adalah orang-orang dekat kita. Namun yang pasti orang yang paling dekat dengan kita tidak lain dan tidak bukan adalah diri kita sendiri!<br />
<br />
<a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
Sering kita dengar orang yang jatuh cinta mengobral kata-kata indah bahwa dia sanggup melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya. Tak seorangpun tahu seberapa besar rasa cintanya (yang sesungguhnya) plus kesungguhan mereka. Namun yang pasti rasa cinta kita pada diri kita sendiri demikian besar. Tidak percaya? coba dengan jujur bertanyalah pada diri kita masing-masing. Bahkan keimanan kita pun belumlah sempurna hingga kita bisa mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Tidak tanggung-tanggung CINTA kepada DIRI SENDIRI, dijadikan standar dalam mengukur kecintaan kita kepada orang lain dan itu menentukan KESEMPURNAAN iman kita.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rasa cinta setidaknya bisa hadir dalam dua wujud, harapan agar terhindar dari keburukan-keburukan dan terwujudnya kebaikan-kebaikan pada orang yang kita cintai. Dalam konteks mencintai diri kita sendiri, tentu kita tidak ingin bahwa diri kita jatuh pada kehinaan, kemalangan, penderitaan. Tidak ada kehinaan lebih besar daripada kehinaan dalam pandangan Allah SWT. Tidak ada kemalangan dan penderitaan melebihi adzab dan siksa Allah atas pembangkangan dan kemaksiatan yang kita lakukan. Sebisa mungkin tentu kita akan menjauhinya. Kita akan berusaha menahan hawa nafsu kita agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan. Kita tidak akan mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Kita tidak akan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan-tujuan semu dalam hidup kita. Dan pastinya orang lain pun akan terselamatkan dari kejahilan dan perilaku buruk kita. Di sisi lain demikian banyak kebaikan, kebahagiaan dan kenikmatan yang Allah janjikan tatkala kita hidup dengan mengikuti jalan yang lurus yang telah Dia tunjukkan. Kita tentu akan berupaya, bekerja keras dan sungguh-sungguh untuk meraihnya. Kita tentu tidak akan ragu-ragu untuk menginvestasikan hidup kita untuk sebuah kebahagiaan yang hakiki dan itu pasti.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terdengar <i>selfish</i> namun saya setuju bahwa mencintai diri sendiri bisa menjadi titik awal untuk menghindari keburukan-keburukan dan mendorong kita melakukan kebaikan-kebaikan dan pada akhirnya menghantarkan kita pada puncak segala kebaikan, yakni keridhoan Allah SWT. Sungguh ketika kita melakukan tindakan aniaya tidak lain sesungguhnya kita telah menganiaya diri kita sendiri. Sebaliknya ketika kita melakukan kebaikan yang boleh jadi itu seolah untuk orang lain, pada hakikatnya kebaikan itu adalah untuk diri kita sendiri. So, mari belajar mencintai (setidaknya) diri kita sendiri dengan sesungguhnya cinta.(ZA).</div>Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7614129224735133159.post-47043377852975079872010-08-22T12:33:00.000+09:002010-08-22T14:45:07.458+09:00Sedang Belum Akan Menulis ...<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhS334_hm6snC6rofoEDvWJqBZOHtIHHmQ4_CNF0yuZJJw70vVbwtH8Dl37_qDkDAGTeppPlxEZbwcK30dj6gfk3Kavu5NIUtG8HjmwYKju4gHQ3fluRkSi1LSLB1hE4RfOJ5jEf8k2KcIe/s1600/Penguins.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhS334_hm6snC6rofoEDvWJqBZOHtIHHmQ4_CNF0yuZJJw70vVbwtH8Dl37_qDkDAGTeppPlxEZbwcK30dj6gfk3Kavu5NIUtG8HjmwYKju4gHQ3fluRkSi1LSLB1hE4RfOJ5jEf8k2KcIe/s320/Penguins.jpg" /></a></div><br />
<div style="color: black; text-align: center;"><b>Hello World !!! ... Pertamaxx !!! ... ah sudah biasa ...</b></div><br />
<div style="color: #666666; text-align: center;"><b>Ahlan Wa Sahlan ... </b><br />
<b>Selamat Datang ... Wilujeng Sumping .... hassshhh biasa juga ...</b></div><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Ternyata memang susah untuk menjadi tidak biasa tatkala kita sudah amat biasa dengan hal-hal yang biasa. Bagaimanapun juga, meskipun hanya [sekedar catatan] jejak langkah ... semoga ini tidak sekedar ke-isengan belaka ... atau sekedar ajang curhat ... atau sekedar .. sekedar .. lainya. Semoga ada manfaat yang bisa dipetik dari coretan-coretan di blog ini.</div><br />
Mungkin begitu [sekedar catatan] awal-an ... karena sebenarnya memang sedang belum akan menulis saat ini ... ^_^Slamet Widodohttp://www.blogger.com/profile/07600176716343608414noreply@blogger.com2